Part 09

819 82 33
                                    

Azzurra

Malam semakin terasa kehadirannya dengan adanya suara angin yang menghembuskan rona sunyi dan suara binatang malam yang sesekali menengahi suasana.
Tamu-tamu undangan telah pulang, kembali ke rumah mereka masing-masing dan semua penghuni rumahpun mungkin sudah mulai terlelap dalam mimpi tidurnya.

Hanya beberapa orang berjenis kelamin laki-laki saja yang masih begadang di depan rumah untuk membereskan sisa-sisa pesta pernikahan seharian tadi sembari bersantai.
Terdengar suara-suara yang sesekali diiringi tawa lepas. Sendau gurau dan obrolan yang silih berganti. Dengan sepenuh dada aku hela nafas yang seketika begitu sangat menyesakkan. Untuk saat ini, aku masih belum bisa terbebas dari tugas wajibku yang sekarang ini terbeban di pundak. Bahkan detik ini adalah awal dari semua hal wajib yang harus aku penuhi sebagai tanggung jawab seorang istri. Tak bisa aku membayangkan. Tak bisa aku berkata-kata, untuk situasi yang sekarang harus aku jalani. Jujur aku tak menginginkan pernikahan ini. Jika saja ada kebebasan untuk menyuarakan pendapat dan membela hak, sudah pasti semua hal itu akan aku perjuangkan. Namun kenyataan berkata lain. Keluargaku bukanlah sebentuk keluarga yang open minded dalam hal yang bersifat global. Apalagi tentang agama dan tentang hubungan tanggung jawab dan kewajiban bagi seorang anak terhadap orang tua. Hal itu adalah sesuatu yang sakral dan tak boleh di rubah. Berbakti itu adalah hal utama. Tak ada kata penolakan terlebih protes. Meski mereka lupa, atau melupakan diri, jika posisi mereka sebagai orang tua juga memiliki kewajiban untuk anaknya. Tapi begitulah.. dan aku tak ingin membahasnya karena hanya akan membuatku sedih dan sakit tak berkesudahan.

Sekarang aku telah menjadi istri sah dari seorang laki-laki yang begitu di agung-agungkan oleh Abi. Dan kewajiban utama yang saat ini membuatku merasa mual dan sakit kepala, karena harus melayani Fathan sebagai suamiku dan tentu untuk tenggang waktu yang tiada batas. Sementara di hati sama sekali tak ada perasaan cinta. Bagi Abi, cinta itu tak penting. Toh saat Abi mempersunting Umi pun tak ada rasa saling mencintai, namun bisa terlahir aku di dunia ini dan sampai sekarang pernikahan itu baik-baik saja. Menurut penilaian Abi pribadi. Aku bisa apa jika beliau sudah berkata seperti itu?? Diam dan diam yang menjadi sikapku selanjutnya. Hanya mengiyakan saja.

Malam ini aku merasakan seluruh bahagiaku telah terenggut. Dan aku hanya sanggup terdiam mematung. Hanya mengeluh merasakan sakit di seluruh badan terlebih lagi hatiku.
Semua milikku telah dia telanjangi dengan penuh nafsu. Bukan aku tidak ikhlas. Namun permata, mahkota yang selama ini begitu ku jaga nilainya, dengan tanpa penghargaan dia renggut begitu saja. Birahi suamiku yang bagiku layaknya seperti binatang saat melihat mangsanya. Tanpa basa basi dan melampiaskannya tanpa kesopanan. Sangat jijik aku setiap membayangkan detik demi detik yang berjalan disaat dia telah memetik kegadisanku.
Satu persatu helai gaun yang menempel di tubuhku dia lepas dengan gerakan tanpa hati. Begitu kasar dan beringas.
Sepasang tatapan tajam dengan wajah menyeringai memberiku pengukuhan hati jika semua itu hanya kebuasan dan sahwat yang meledak-ledak tanpa rasa dan kelembutan cinta di dalamnya. Syok dan hampir tak percaya jika apa yang aku bayangkan tentang sosok Fathan ternyata lebih parah dan lebih menakutkan dari yang aku pikirkan selama ini. Dan inikah topeng asli dari seorang Fathan ???

Abi.., abi salah menilainya laki-laki santun yang berakhlak baik dan imam panutan bagi istri.. Seperti inikah potretnya??

" Kakak belum pernah menikmati tubuh semolek dan semulus ini Zurra.. Nikmat sekali rasanya.. "

Celotehannya sembari melampiaskan semua birahinya padaku.
Aku hanya sanggup diam dan menangis lirih.

Apa maksud ucapannya??

" Jadi sebelum Zuu kakak udah pernah melakukannya ?"

" Itu enggak penting.. "

Menahan marah hatiku dengan jawaban Fathan.

" Seperti belum pernah merasakan surga dunia cara kakak gauli akuu.. Atau mungkin justru telah mengerti sangat karena tak ada kegugupan dan rasa malu.. "

" Laki-laki langkahnya lebar.. Dia bisa melakukan apa yang dia mau karena dia tak seperti kaum wanita yang sekali di jamah laki-laki akan menjadi bunga yang busuk. "

Ucapan kasar yang sangat diluar pikiranku.

Fathan, laki-laki yang terlihat sangat taat dan alim yang begitu menunjukkan prilaku kesantunan pada kedua orangtuanya juga abi dan umi, yang selalu menebarkan citra seorang lelaki berhati santri, ternyata hanya seorang yang munafik.

" Sayang.., oohh sayang.., aroma kulitmu serasa bunga surga, sangat harum dan memabukkan seperti cawan.. "

Terus mencercau Fathan tanpa henti melampiaskan aksi nafsunya terhadapku.

Aku melengkuh lirih.

Merasakan sebuah indah yang hinggap sesaat bersamaan bayangan seseorang yang melintas di pikiranku.
Tatapan penuh binar yang mengalirkan cerah di hatiku.
Suara yang seperti desau angin sejuk yang menerpa tubuhku.
Senyuman bak cokelat yang meleleh begitu menggoda dan sikap riang yang membuatku cukup terpukau sesaat.
Aku kerjapkan mataku berkali-kali.

" Kakak sakitt.. "

Ujarku memejamkan mata dan mencengkram bantal yang aku jadikan sandaran kepalaku.

" Apa kakak terlalu memaksa dan kasar Zurra? Bukankah wanita itu lebih terangsang jika diperlakukan seperti itu ?"

" Tapi itu bukan Zurra.. "

" Heumm.., kamu sama seperti Silmi. "

" Maksudnya ??"

Berkerut seketika dahiku mendengar ucapan Fathan.
Silmi??

" Iya. Bulshit kalo ada perempuan suka dilembutin saat memadu kasih. "

" Silmi.., "

Bergumamku lirih dan gugup.
Sepasang mataku menerawang jauh menjemput sebuah bayangan wajah yang bak lukisan ketika hinggap di alam pikiranku.

Kisah Sedih AzzurraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang