20. Kabar Baik

483 43 8
                                    

Ralia’s pov
19:00 WIB

Aku, Hilda, dan Revan sudah selesai berdiskusi untuk pembagian materi, masing-masing dari kami mengetik materi yang menjadi bahan presentasi untuk besok mata kuliah Pak Indra.

Tiba-tiba bayangan mengenai harum manis yang biasa dijual di pasar malam membuatku tergiur. Aku mencoba tetap fokus pada materi tapi yang ada dipikiranku sekarang hanyalah harum manis.

Aku berhenti mengetik dan melihat ke arah Revan dan Hilda yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bagaimana ini? Aku tidak bisa meminta tolong pada mereka berdua lagi. Lalu aku minta tolong pada siapa? Tidak mungkin aku pergi kesana sendirian kan?

Ada baiknya kau bersabar, Ralia. Bukankah tadi kami sepakat pergi kesana setelah tugas ini selesai?

“Kau memikirkan sesuatu, Ra?” suara Revan memecah keheningan, spontan Hilda menghentikan aktifitasnya mengetik dan menatapku.

Hey, apakah ekspresiku ini terlalu jelas? Atau Revan menatapku sejak tadi?

Aneh sekali.

“Ada yang kau inginkan?” aku menatap kedua sahabatku ini dan mengangguk. “Apa itu?”

Aku menggigit bibir bawahku dan menatap Revan, “Saat ini aku sangat ingin memakan harum manis di pasar malam.” Revan dan Hilda saling menatap dan terlihat lega kemudian.

“Kita bertiga pergi kesana sekarang saja. Tugas ini bisa kita lanjutkan besok.”

Revan menggeleng, “Tidak. Kalian berdua tetap disini saja, aku yang akan kesana dan membelikan harum manis untukmu.”

“Terimakasih, Revan. Maaf, aku jadi merepotkanmu.”

Revan yang memakai jaketnya tersenyum ke arahku, “Tidak sama sekali.” Ia menatap Hilda, “Kau ingin martabak?” Hilda mengangguk dan mengacungkan kedua jempolnya.

“Baiklah, aku pergi dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.” kataku dan Hilda bersamaan, aku mencebikkan bibirku saat menatap Revan yang keluar rumah Hilda.

“Maafkan aku, Hilda.”

Hilda mengerutkan keningnya, “Lia, seingatku sekarang ini bukan momen lebaran. Kenapa kau meminta maaf sejak tadi?”

“Maaf karena aku merepotkan Revan. Aku merasa tidak enak denganmu karena ini.”

Hilda tersenyum dan memelukku, “Hey, kenapa kau merasa tidak enak begini?”

“Karena kau menyukai Revan, aku tidak mau membuatmu sakit hati karena ini. Sungguh, tadi aku berpikir untuk pergi kesana sendirian.”

Hilda menatapku dan tertawa, “Ralia Zahari Aryeswara, kau ini benar-benar. Dengarkan aku, Revan sahabatmu walau aku menyukainya. Sebagai sahabat, bukankah hal biasa jika dia memenuhi permintaanmu? Dia juga membelikan martabak untukku nanti.” Aku menunduk dan memainkan jariku.

“Kenapa kau tidak bercerita padaku jika menyukai Revan? Kau tidak percaya padaku?” sahabatku ini menatapku dengan kedua mata membulat sempurna.

“Tidak, bukan begitu. Hanya saja aku pikir dengan menceritakan tentang ini, persahabatan kita tidak akan baik-baik saja.”

“Bukankah memang tidak akan baik-baik saja dengan persahabatan laki-laki dan perempuan?”

“Ya, dan itu dalam posisi yang cukup sulit.”

Hilda menatapku dengan senyuman getirnya, “Kita terlibat cinta segitiga, aku menyukai Revan dan dia menyukaimu.” Katanya dengan nada sedih.

Aku menggenggam kedua tangan Hilda, “Tapi aku tidak menyukainya sama sekali, Hilda. Aku hanya menganggap Revan sebagai sahabat, tidak lebih dari itu. Kau tahu, di dalam hatiku hanya ada Pak Indra.” Hilda terkekeh, dia menarikku ke dalam pelukannya.

Second Love New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang