34. Bendera Perang

447 49 1
                                    

Ralia’s pov

“Maya!”

Plak

Aku terkejut bukan main saat mendengar suara teriakan dan tamparan dari seseorang pada Mbak Maya. Air mata yang sejak tadi ku tahan jatuh juga, Mbak Maya tahu latar belakang keluargaku dengan baik. Lalu kenapa dia memikirkan hal seperti itu terhadapku? Menjual rahimku demi harta Pak Indra?

“Apa maksudmu mengatakan semua itu?!” Pak Indra berdiri tepat di depanku, ia menatap Mbak Maya dengan tatapan tajam. Baru kali ini aku melihat Pak Indra semarah ini.

“Setidaknya pikirkan ini dengan baik, apa kau pikir kekayaan yang ku miliki sebanyak apa hingga Ralia memanfaatkannya? Ralia bahkan jauh lebih kaya dariku! Dia berbelanja menggunakan uangnya sendiri, bukan uangku!”

Mbak Maya membulatkan matanya dan menatapku, ia memegang Pak Indra dengan kedua tangannya. “M.. Mas, aku-”

Pak Indra mengabaikan Mbak Maya, ia menuntunku masuk ke dalam kamar. Aku menjatuhkan barang-barangku ke lantai, lututku lemas dan aku jatuh terduduk di lantai.

“Sayang.” Pak Indra memelukku dan aku menangis dalam pelukannya. “Ssssttt, jangan dengarkan Maya. Saya tahu itu tidak benar, jangan masukkan perkataannya ke dalam hati.”

“Saya hanya tidak menyangka, Pak. Mbak Maya tahu semua cerita kenapa kita menikah, tapi kenapa tega mengatakan hal seperti itu padaku?”

Pak Indra mengeratkan pelukannya dan menghujani puncak kepalaku dengan ciuman. “Sudah ya, jangan pikirkan lagi. Maya memang suka bicara sembarangan, nanti saya akan bicara padanya.”

Aku mendongak, Pak Indra mengsapus air mata yang membasahi air mataku. “Apa saya tidak boleh pergi bersenang-senang dengan sahabat-sahabat saya? Saya berbelanja pun tidak memakai uang dari Bapak, saya menggunakan uang saya sendiri.”

“Sssstt, iya saya tahu. Sudah ya, berhenti menangis. Kamu boleh pergi bersenang-senang dengan teman-temanmu dan jangan pedulikan Maya. Dia tidak tahu apapun, kan? Itulah sebabnya dia bicara seenaknya saja.”

Pak Indra mengecup keningku. “Sekarang pergilah mandi lalu kita makan malam bersama.”

Aku mendunduk dan menghela napas panjang berulang kali, “Hmm, Pak.”

“Iya, Black Forest? Kamu butuh sesuatu?”

Bagaimana ya aku mengatakannya pada Pak Indra?

“Kenapa? Katakan saja, sayang.”

“Hmm, saya tidak mau mandi sendiri.” Pak Indra terkejut, ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa detik sebelum terkekeh.

Hey, bagaimana bisa dia tertawa? Aku malu setengah mati ini!

Tiba-tiba Pak Indra menggendong tubuhku ala bridal, ia menempelkan keningku di keningnya. “Jadi, Mama ingin mandi dengan Papa ya?”

“B- bukan Mama, tapi anak-anak.” Pak Indra tertawa semakin keras.

Hey, aku bicara yang sebenarnya. Ini memang kemauan anak-anak, bukan aku. Pak Indra tidak mempercayaiku?

#

21:00 WIB

Aku masih betah membaca buku mata kuliah Opini Publik yang besok ujian. Seharusnya aku mengambil keuntungan dari mata kuliah ini karena dosen yang mengajar sedang mengerjakan soal disampingku dengan laptopnya. Seperti yang dikatakan Rian dan Mika, bisa saja aku minta soal untuk ujian besok. Tenang saja, aku tidak akan melakukannya.

Aku sudah berniat akan mengerjakannya semampuku dengan cara yang halal.

Ting

Ponselku berbunyi, dari chat grup yang berisi aku, Revan, Hilda, Mika, Elsa, Sena, dan Rian.





Second Love New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang