[S1] - 09 | Boneka Beruang

76 8 290
                                    

Indonesia, negara yang sudah lama ingin Mahika kunjungi. Dia pernah dengar, pantai di Bali sangat indah, bahkan para artis pun banyak yang berkunjung ke sana. Bukan hanya itu saja, banyak tempat yang tak kalah indahnya dengan Bali, yang juga ingin Mahika datangi satu per satu.

Impian itu akan terwujud hari ini; dia akan pergi ke Indonesia sebab ibunya ternyata tinggal di sana. Hanya saja, 1) ibunya tidak tinggal di Bali, dan 2) dia tidak ingin mengajak Manusia Datar itu bersamanya. Tapi, apa boleh buat. Dia baru bisa menjalankan rencananya memulangkan si Datar itu seminggu lagi.

"Kenapa kau murung terus?" tanya Jai yang duduk di sebelah Mahika. Mereka sedang dalam perjalanan menuju Indonesia.

"Aku tidak mengerti kenapa Mom dan Dad berpisah, lalu kenapa Dad tidak mengizinkanku tinggal bersama Mom," aku Mahika. Jika boleh jujur, inilah pertanyaannya sejak tahunan lalu-ketika orang tuanya memutuskan berpisah saat dia berusia 8 tahun.

"Aku juga tidak mengerti. Menurutku, perpisahan adalah hal paling egois yang orang tua lakukan. Mereka yang bermasalah, tapi anak mereka yang jadi korban. Tidak ada satupun anak di dunia ini yang bisa memilih salah satu dari orang tuanya, atau mau dipisahkan dari orang tuanya," timpal Jai.

"Kau benar, Jai. Aku adalah contohnya. Orang-orang bilang hidupku ini sangat beruntung, tinggal di tempat yang seperti istana, bergelimang harta, punya segalanya, apa pun yang kuinginkan selalu aku dapat, tapi nyatanya keluargaku hancur. Jika anak-anak lain dibesarkan oleh kedua orang tua mereka dengan penuh cinta, maka aku malah dibesarkan oleh para pembantu, yang salah satunya adalah ibumu."

Jai tertawa hambar. Ibunya memilih merawat anak orang lain daripada anaknya sendiri, tetapi ketika sudah tua, membutuhkan anaknya lagi. Lucu sekali.

"Aku tidak mau minta maaf karena aku tidak minta ibumu untuk merawatku, ya," kata Mahika seraya menunjuk Jai. Dia juga tertawa.

"Iya, iya, itu bukan salahmu."

"Omong-omong, orang tuamu kan bekerja pada ayahku, lalu kau tinggal bersama siapa?"

"Aku tinggal bersama kakek, nenek, dan sahabatku."

"Sahabat yang mana lagi?"

"Sonu. Dia nasibnya tidak jauh berbeda denganmu, yaitu orang tuanya berpisah. Bedanya, kau sangat beruntung punya segalanya, sedang Sonu dan aku hidup serba pas-pasan. Apalagi setelah kami hanya tinggal berdua, bisa makan sehari sekali saja cukup," Jai tertawa pelan mengingat masa kecilnya.

Di sebelahnya, Mahika tak berkedip menatap pria itu; mendengarkan ceritanya dengan seksama.

"Kau tahu? Jika tidak ada ibunya Arzoo, aku dan Sonu tidak akan pernah merasakan yang namanya sekolah."

Mahika mengerjap beberapa kali. "Kenapa begitu?"

"Kakek dan nenek kami sudah sangat tua. Berjalan saja susah, sudah pikun, mana sempat berpikir untuk menyekolahkan kami? Kalau tidak salah, saat aku dan Sonu berusia 10 tahun, tetangga kami menyarankan agar kami daftar sekolah. Kami menurut dan pergi ke sekolah. Saat itu, kami tidak bisa membaca sama sekali. Kami tidak tahu apa saja yang dibutuhkan untuk masuk sekolah. Guru yang mengurus pendaftaran mengusir kami, minta orang tua kami datang. Saat itu, kami bertemu Arzoo dan ibunya," Jai menjeda ceritanya karena tertawa.

"Arzoo menunjukku sambil berkata 'hei, kalian kan sudah besar, kenapa baru mau kelas satu?'. Lalu, ibunya memperingatkannya agar tidak bicara begitu. Ibu Arzoo sangat baik, dialah yang membantuku dan Sonu daftar sekolah sampai diterima. Aku dan Sonu pun berjanji saat itu juga, akan menjadi sahabat dan superhero bagi Arzoo; menjaganya, dan memastikan dia tidak mengalami kesulitan. Selanjutnya kami bersahabat hingga sekarang.

Our Impossible Love (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang