Bagian 63

118 18 1
                                    

Tirta merasa kebingungan menghadapi Angga. Pasalnya sejak dari mereka meninggalkan Borang sendiri di dalam gua, Angga terus saja mengekor kepada Tirta. Tirta tidak tahu kenapa gadis itu terus saja mengekorinya.

Saat Tirta sedang membuat api untuk membuat air minum, Angga mengikuti Tirta di belakang. Angga memang tidak melakukan apa apa. Dia hanya memperhatikan Tirta yang sedang memasak air.

Kemudian saat Tirta mengangkat jemuran pakaian Borang, Anggapun masih mengekor Tirta. Angga tidak berbuat apa apa, hanya menatap Tirta dan kembali mengekor saat Tirta menghangatkan pakaian Borang.

" Angga , ada apa denganmu ? Kenapa kau terus mengekoriku ? Apa ada sesuatu yang akan kau katakan kepadaku? "

Angga terkejut ketika Tirta menegurnya.

" Oh tidak ada apa apa Tirta. Aku hanya ingin membantumu. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. "

" Kau tak perlu membantuku. Kau temani saja Borang di dalam. Aku bisa melakukan semua ini sendirian."

" Tidak , tidak. Aku tidak mau di sana sendirian."

" Kau tidak sendirian. Kan ada Borang di sana."

Angga memandang Tirta malas. Lemot amat sih otak Tirta ini. Masa begitu saja tidak tahu .

" Maksudku itu Tirta, aku tidak mau sendirian saja bersama Borang. Aku takut kalau Borang marah dengan apa yang sudah aku lakukan kepadanya. Kau lihat sendiri tadi kan? Wajahnya sangat masam. Matanya juga menatapku sangat mengerikan. Pokoknya aku tidak mau berdua saja dengan Borang. Kau jangan jauh jauh dari aku."

Tirta tersenyum melihat Angga merajuk. Rasanya lucu sekali ada seorang gadis yang secara langsung tanpa malu malu meminta seorang laki laki yang bukan suaminya untuk tidak jauh jauh darinya. Kalau Tirta tidak tahu duduk persoalannya bisa bisa Tirta jadi lupa diri dan berpikiran yang tidak tidak. Bayangkan, mana ada gadis di sini yang bicara terus terang seperti itu. Kalau bukan karena dia kekasih sahabatnya, sudah langsung akan dilaksanakan perintahnya itu tanpa perlu Tirta berpikir dua kali.

" Borang tidak akan marah Angga. Mana mungkin dia marah. Kau kan yang menolongnya, yang membuat dia sadar dari pingsan. Jadi dia pasti sangat berterima kasih kepadamu. Percayalah kepadaku."

" Berterima kasih? Hah, kau tahu Tirta, selama aku mengenal temanmu itu, belum pernah sekalipun dia bilang terima kasih kepadaku. Jangankan bilang terima kasih, malah  dia bisa membuatku kena hipertensi kalau aku berlama lama bersama dia."

" Itu kalau dia di depanmu. Percayalah di belakangmu dia akan sangat berbeda . "

" Berbeda bagaimana? Apa maksudmu dia menjelek jelekkan aku di belakangku, begitu?"

" Bukan, bukan seperti itu. Dia tidak mungkin menjelek jelekkanmu. Dia sangat mengagumimu dan menyukaimu. Saat aku bersamanya tak sedetikpun dia tidak bercerita tentangmu. Semua  selalu tentangmu. Sampai aku menjadi sangat penasaran."

" Mana mungkin dia bercerita tentang aku. Dia pasti bercerita tentang Umangnya."

" Ya , dia selalu bercerita tentang Umang."

" Nah itu. Umang, bukan aku. Jadi kau sudah salah orang Tirta. Jangan samakan aku dengan Umangnya Borang. Aku tidak suka."

Angga mendengus kesal menyadari kalau Umanglah sebenarnya kekasih Borang.

Bukan hanya Angga saja yang kesal, Tirta pun ikut ikutan kesal. Kesal karena pikirannya kembali dibuat kacau oleh gadis itu. Menurut Tirta, Umang ataupun Angga tidaklah penting sekarang. Yang penting gadis inilah nyatanya yang dibicarakan Borang. Tapi kenapa selalu saja orang di depannya ini berkelit jika dirinya disebut Umang. Tidak bisakah dia mengiyakan saja atau pura pura mengiyakan agar Tirta tidak perlu pusing memahami teman teman anehnya ini.

Sang PemukulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang