Aula besar itu tampak lengang. Hanya beberapa prajurit yang dibiarkan berjaga, termasuk Kapten Lenon. Pria itu menghampiri sang raja yang sedang duduk di singgasananya dan membisikkan sesuatu pada tuannya itu. Raja Albert terlihat mengangguk. Tatapannya beralih memandang seseorang yang berlutut sepuluh langkah di depannya.
"Anak-anak itu akan segera sampai di sini."
Pria berambut coklat itu menunduk. Ia hanya diam, menunggu ucapan sang raja selanjutnya.
"Kau pasti sangat merindukan putrimu. Levine, bagaimana menurutmu?"
Levine mendongakkan wajahnya. Ia menatap sang raja dengan senyumannya yang tenang. "Saya dengar dia tumbuh menjadi gadis yang cukup pintar. Tentu saya tidak sabar bertemu dengannya. Tapi, Yang Mulia, apakah ini dibenarkan? Obat pangeran bahkan masih belum selesai seratus persen."
"Aku sudah memisahkan kalian terlalu lama. Aku tidak akan memisahkan kalian lebih lama lagi. Anak itu butuh ayahnya."
Pria berambut coklat itu kembali tersenyum. Sebelas tahun rasanya memang sudah terlalu lama. Pengorbanan dan penebusan dosanya tampaknya juga sudah hampir selesai. Raja benar, ia sudah seharusnya mulai berpikir untuk menebus dosanya pada Flogi, putri semata wayangnya. Apakah putri kecilnya itu masih mengingatnya? Apakah gadis itu merindukannya sama seperti dirinya merindukan gadis itu?
***
Rupanya perjalanan kembali dari Elfados tidak sesulit saat berangkat, mungkin karena sebelumnya mereka berusaha agar tidak terlihat. Kali ini mereka melewati jalan biasa. Benar-benar jalan biasa. Eren dan Neil saja sampai merasa ingin mengumpat saat mengingat tragedi jatuh dari tebing tempo hari.
Begitu sampai istana, mereka berempat segera menuju aula untuk menemui raja. Sayangnya, mereka tidak menemukan apa pun di aula. Ruangan besar itu terlihat sangat sepi tanpa kehadiran sang pemilik singgasana. Jun menggeram marah. "Apa kau akan bermain dengan kami seperti ini, Ayah?!!" Teriaknya kesal.
"Aku tidak pernah suka bermain, Junior." Sebuah suara cukup mengalihkan perhatian mereka berempat. Itu adalah raja yang baru saja memasuki aula dengan Kapten Lenon.
Jun menatap kesal pada ayahnya. Mata merahnya menunjukkan jika ia memang sedang tidak bercanda. "Lalu katakan padaku, kenapa kau sengaja mengirim kami ke Elfados jika kenyataannya Levine sudah kau keluarkan dari sana?" Tanyanya dengan sinis. Ia melupakan semua sopan santun yang harus ia tunjukkan jika berhadapan dengan raja. Hampir saja Kapten Lenon akan menegur saat raja memberinya kode untuk membiarkannya.
"Untuk melihat apakah putraku masih bisa kupercaya atau tidak." Ucap raja, membuat Jun mengernyit saat mendengarnya. "Kali ini kau membunuh tiga orang. Cukup mengejutkan mengingat terakhir kali kau hampir membunuh satu pasukan." Jun mengepalkan tangan. Ia menunduk, memahami maksud sang ayah.
"Aku... akan berhati-hati. Tapi kumohon, biarkan Flogi bertemu ayahnya."
Albert menghela napas. Ia memanggil salah seorang prajurit untuk mendekat. "Antar mereka bertiga ke tempat Levine."
"Baik, Yang Mulia."
Laki-laki paruh baya itu mengalihkan tatapannya pada Kapten Lenon. "Bawa pangeran ke kamarnya. Aku tidak mau mendengar dia kabur lagi."
Kapten Lenon segera menahan kedua tangan Jun di punggungnya. Jun yang terlihat tidak percaya, menatap ayahnya dengan penuh tanya. "Ayah, aku berjanji akan berhati-hati... Aku berjanji... Ayah!" Itu adalah ucapan terakhirnya sebelum benar-benar dibawa keluar aula oleh Kapten Lenon. Di sisi lain, Flogi, Eren, dan Neil hanya bisa memperhatikan Jun yang terlihat menyedihkan sambil berjalan mengikuti prajurit yang ditugaskan mengantarkan mereka.
***
Jantung Flogi berdetak kencang. Ia gugup. Sudah lima menit sejak ia dibiarkan sendiri di depan pintu sebuah ruangan di bawah tanah. Prajurit tadi membawa mereka terus menuruni tangga setelah dibawa berjalan jauh melewati lorong. Setelah menunjukkan ruangan, – yang awalnya dikira penjara oleh Neil – prajurit itu langsung undur diri. Berdasarkan informasi yang Neil dapat dari prajurit tadi, ruangan itu adalah sebuah laboratorium yang dibuat khusus untuk pengobatan Jun sebelas tahun lalu.
Setelah berhasil menginterogasi prajurit dan mengomel tidak jelas, Neil akhirnya membawa Eren pergi dan membiarkan Flogi sendiri. Alasannya? Ia tidak ingin marah-marah pada orang tua. Jelas sekali bohongnya.
Flogi menghela napas untuk yang kesekian kalinya sebelum akhirnya mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Ia masuk dan menutup pintunya tak kalah perlahan dari saat ia membukanya.
"Kau tidak perlu masuk diam-diam seperti itu, Nak."
Flogi membeku. Ia menoleh dan mendapati ayahnya yang selalu berambut panjang itu sedang tersenyum hangat padanya. Senyuman yang selalu menyapanya setiap pagi sebelas tahun lalu. Senyuman yang selalu ia dan ibunya rindukan. Senyum yang membuat ibunya harus meregang nyawa demi merindunya. Flogi masih diam di sana, hanya menatap, hingga perlahan ia menunjukkan ekspresinya. Ia menangis sekencang yang ia bisa. Ia tidak peduli jika dirinya seperti anak kecil. Penantiannya selama ini sudah terlalu lama. Ia sudah tidak tahan lagi.
Levine menghampiri putrinya. Laki-laki berambut coklat itu akhirnya bisa memeluk putri kecilnya seperti dulu. Putri kecil yang ia sadari telah menjelma menjadi gadis remaja. Ia memeluk erat Flogi, melepaskan rindu yang juga dirasakannya selama sebelas tahun.
Tanpa mereka sadari, kedua manusia yang awalnya musuh bebuyutan itu sedang mengintip dari balik pintu. Neil tersenyum sekilas dan Eren melihat senyuman itu. Eren mengikuti Neil yang tiba-tiba sudah berjalan menuju arah kembali.
"Kau sengaja tidak ikut karena tidak mau mengganggu momen tadi, kan?" Eren sepertinya sudah tidak betah menahan lidahnya untuk tidak bertanya. Meski ia tahu jika Neil tidak akan menjawab pertanyaan yang jawabannya akan membuatnya malu itu.
"Tidak. Aku hanya malas bertemu orang itu. Dari dulu rambutnya selalu panjang, seperti wanita saja."
Eren berdecak. "Sepertinya kau membutuhkan cermin, Neil." Ucapnya sambil menjambak sekilas rambut pirang Neil yang memang cukup panjang untuk ukuran anak SMA. Aksi yang cukup membuat Neil berteriak dan berakhir dengan mengejar Eren yang segera berlari menghindari pukulannya.
***
Blank. Kosong. Rasanya hampir seperti tak bisa berpikir. Apa yang kulihat? Apa yang kulakukan? Apa yang kutulis?
Melayang. Iya, seperti melayang ketika pikiran dan hati tak menyatu dengan tubuh. Tak sinkron dan tidak jelas. Seperti itu.
Selamat menikmati keresahan ini.
~Idzanami19
KAMU SEDANG MEMBACA
Chemist Accident (TAMAT)
Fantasy"Hoaaammmm..." Terdengar sebuah suara yang mengagetkan mereka. Mata mereka terus menatap ke dalam gua. Sebuah bayangan berjalan mendekat ke arah mereka. Debaran jantung mereka semakin mengencang. Rasanya seluruh dunia mendengar debaran jantung mere...