17. Cerita Lama

28 4 0
                                    

Mereka menatap ruang raksasa itu dengan takjub begitu tiba di dalamnya. Ruang raksasa itu ialah aula istana, tempat berbagai macam pertemuan dilakukan, tempat berbagai keluh dialamatkan. Di sana terdapat pilar-pilar besar yang bekerja keras sebagai penopang bangunan megah itu. Di ujung tengahnya, terdapat dua singgasana yang megah. Bisa ditebak, itu adalah tempat duduk dua pilar paling penting di Kerajaan Edelweiss, raja dan ratu. Sayangnya, saat ini hanya tersisa satu pilar yang duduk di singgasana itu karena sang ratu telah lama tiada.

Eren memperhatikan sekelilingnya. Matanya tertuju pada seseorang yang duduk di singgasana. Seorang lelaki berusia sekitar pertengahan empat puluhan tahun dengan mahkota di atas rambutnya yang mulai memutih. Lelaki itu tampak gagah. Mata abu-abu gelapnya terlihat tajam dan teduh pada saat yang sama. Mata yang sama seperti yang dimiliki oleh Jun. Eren menghela napas. Ia akhirnya bisa menerima Jun sebagai anak sang raja.

Jun berlutut di hadapan ayahnya diikuti Flogi, Eren, dan Neil di belakangnya. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan sang ayah sejak ia menghilang beberapa waktu yang lalu. Ia memejamkan mata, memikirkan apa yang harus pertama kali ia katakan pada ayahnya. Satu menit berlalu dan ia masih saja diam. Jun bahkan bisa merasakan tatapan penuh tanya dari tiga orang di belakangnya, juga tatapan tajam sang ayah dari atas singgasananya. Jun menghela napas. Apa yang harus ia katakan?

"Apa kau akan terus seperti ini? Berdirilah dan katakan alasanmu tiba-tiba menghilang seperti itu."

Lagi-lagi Jun menghela napas. Ia mendongak menatap sang ayah dengan cengiran yang menghiasi wajahnya. Merasa senyumannya percuma, Jun berdiri, lalu menundukkan kepala takzim. "Maafkan aku, Ayah. Ini tidak akan terjadi lagi... aku ber-"

"Aku tidak akan lagi percaya dengan janjimu itu, Pangeran. Tidak untuk yang kelima kalinya."

Jun menghela napas. "Maafkan aku."

Tatapan raja beralih pada ketiga remaja yang masih berlutut di belakang putranya. Ia mengernyit, memperhatikan setiap anak dengan seksama. "Kalian bertiga, berdirilah. Aku ingin melihat teman-teman putraku yang membuatnya jadi seberani ini untuk pulang."

Flogi, Eren, dan Neil pun segera berdiri tanpa berani menatap rajanya. Mereka menunduk, seperti halnya Jun sebelumnya. Jun mundur perlahan dan berdiri di samping ketiga temannya, lebih tepatnya di sebelah Flogi. Sesekali ia memperhatikan Flogi. Gadis itu tampaknya sedang serius menghitung noda di lantai aula. Terbukti dari tatapannya yang tidak pernah lepas dari lantai marmer itu.

"Bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya sedang kalian cari di ibukota?"

Jun mendongak menatap ayahnya. "Kami sedang..."

"Aku bertanya pada teman-temanmu, Junior. Bukan padamu." Ucap sang raja dengan tatapannya yang tidak beralih dari tiga remaja di samping Jun. "Kau, gadis berambut pirang. Bisa kau jelaskan apa tujuan kalian ke ibukota tanpa pengawasan?"

Flogi menahan debaran di jantungnya. Ia memberanikan diri mendongak, memandang pemimpin Kerajaan Edelweiss itu dengan yakin. "Kami ingin menemui Levine Levinson. Kami dengar ia berada di ibukota, itu sebabnya kami berada di sini... Yang Mulia."

Terlihat jelas rona terkejut di wajah Raja Albert. Ia tidak menyangka nama itu akan kembali disebut di aula ini oleh seorang gadis remaja seperti Flogi. Tatapannya yang terlihat begitu teguh membuatnya mengingat teman masa kecilnya dulu. Aurora Victori Arkela. Nama itu tiba-tiba kembali berkelebat di pikiran Albert.

"Junior, bawa kedua teman laki-lakimu kembali ke kamarnya. Aku ingin bicara dengan gadis kecil ini." Titahnya pada Jun yang seketika menatap ayahnya penuh tanda tanya. Meski begitu, ia mengikuti perintah ayahnya sebelum terkena amarahnya lebih jauh. Jun memberi kode pada Eren dan Neil agar mengikutinya pergi dari ruang raksasa yang tiba-tiba terasa sangat sempit ini.

Chemist Accident (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang