Rab, 20 Jul 2022
🍑
Pagi ini jam olahraga yang dipandu Pak Lana diawali dengan pemanasan ringan oleh murid-murid sekelas Zee. Materi pelajaran yang akan menjadi bahan pembelajaran mereka kali ini adalah lari. Hal yang paling dibenci oleh Zee.
Dia selalu berusaha untuk menghindari materi olahraga yang menguras banyak tenaga itu. Lagian kenapa sih harus ada pelajaran begini, dia kan juga tak pernah berniat untuk menjadi atlet lari. Selain olahraga voli, ini juga menjadi materi yang selalu membuat nilai olahraganya dibawah 80.
Perbedaan di kelas olahraga pagi ini amat terasa. Lihat saja, kebanyakan murid perempuan di kelas Zee ikut mengeluh karena materi kali ini adalah lari. Berbeda dengan murid laki-laki yang kebanyakan tampak sangat bersemangat mengikuti kelas olahraga pagi ini.
Zee bersungut. "Kenapa, ya, tiap pelajaran olahraga kebanyakan cowok-cowoknya pada semangat? Beda banget kalau lagi di dalam kelas."
Venya yang mendengar itu langsung mengangguk setuju. "Bener. Gue juga heran kenapa tiap pelajaran olahraga nilai tinggi itu selalu didominasi sama cowok. Simple aja sih, karena memang fisik cowok didesain lebih kuat dibanding kita. Tapi itu namanya nggak adil buat cewek."
Karena posisi Venya dan Zee berada tepat di dekat barisan laki-laki, Gilang yang tak sengaja mendengarkan perbincangan mereka berdua ikut menyeletuk tidak terima. "Itu namanya adil, Venya."
Venya menoleh. "Ya, nggak dong. Gimana bisa disebut adil kalau kekuatan tubuh kalian setara sama pelajaran olahraga yang pastinya selalu berhubungan sama fisik. Gue bukannya mau ngerendahin harkat dan martabat gender gue, tapi emang kebanyakan cewek rata-rata nggak bakalan bisa ngalahin cowok di pelajaran olahraga."
"Tapi lo juga jangan lupa kalau bicara masalah akademik rata-rata dikuasai sama cewek. Emang banyak juga sih cowok yang mampu dibidang akademik, tapi gue ngambil contoh di kelas kita. Rata-rata yang unggul di kelas akademik itu cewek, kita cowok-cowok cuma kebanyakan unggul di olahraga doang. Jadi adil lah, itung-itung kita sekelas saling melengkapi," jawab Gilang, dia mengambil napas setelah mengatakan hal itu.
Barusaja hendak melanjutkan perdebatan yang tampaknya akan semakin panjang, suara peluit Pak Lana memotong gerakan Venya untuk kembali menyanggah. Walaupun sebenarnya Zee cukup setuju dengan pendapat Gilang barusan. Soal adil dan tidaknya, memang kelas mereka cukup bisa dikatakan saling melengkapi. Murid cewek dominan menguasai kelas, dan murid cowok dominan menguasai lapangan.
"Udah, yuk. Itu anak-anak udah pada ngumpul di sana." Zee akhirnya mengajak Venya untuk ikut bergabung di pinggir lapangan.
Seperti biasa, materi olahraga selalu diawali dengan pemanasan, latihan sebanyak dua kali, kemudian berlomba untuk mendapatkan nilai terbaik. Itu sudah menjadi ketetapan setiap pelajaran olahraga.
Latihan pertama pastinya dimulai oleh murid yang namanya berada di awal absen. Zee, Venya dan Hana memilih untuk menepi di sekitar panggung yang berada di tepi lapangan. Mereka mau tidak mau harus menunggu karena abjad pertama nama mereka yang memang berada diurutan paling bawah, kecuali Hana.
"Lo nggak ada niat bolos kelas?"
Zee sedikit tersentak karena suara yang tiba-tiba muncul persis di dekat telinganya. Ia menoleh dan mendapati wajah Nuka di sana. "Kita mau pengambilan nilai, Ka. Lo jangan aneh-aneh deh."
Cowok itu mengambil tempat di dekat Zee sambil ikut memandang teman sekelas mereka yang sedang latihan. "Akhirnya ada juga pelajaran yang nggak lo suka."
"Gue bukan nggak suka. Cuma terlalu menguras tenaga aja. Apalagi harus latihan 2 kali, abis itu langsung pengambilan nilai. Pasti capek banget."
Nuka mendengus geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
NUKA ZEE
Teen Fiction[HARAP FOLLOW SEBELUM BACA! HANYA CERITA FIKTIF ANAK SMA YANG PASTI BAKAL BIKIN BAPER] ❤️❤️❤️ __________ Tak ada yang paling menyebalkan selain diberi keharusan untuk menjadi mentor belajar seorang murid baru di sekolahnya. Zidney Chalondra atau bia...