Dua Puluh Enam

30 6 3
                                    

.
.
.
.
.
.

" Jev "

" Hmm"

" Kamu jahat"



Pagi ini keluarga Jevian dan Tyana akan kembali pulang ke Ibukota, Tyana dan Jevian berada di mobil yang sama.

Tadi ketika Tyana hendak masuk kedalam mobil sang Ayah, dengan segera sang Ibunda menyuruh dia satu mobil dengan Jevian maka jadilah Tyana pulang dengan Jevian.

Mau menolak pun percuma, Bundanya dan Mama Jevian menatap penuh harap pada mereka berdua mungkin Jevian akan menerima dengan senang hati tapi Tyana? Dia masih enggan.

Sejak awal keberangkatan dari villa mereka hanya diam, Jevian yang sibuk dengan setir mobilnya dan Tyana yang sibuk dengan pemikirannya, dan setelah hampir lima belas menit Tyana tiba-tiba melontarkan kalimat itu pada Jevian.

Mendengar kata "Jahat" keluar dari bibir Tyana dengan segera Jevian menepikan mobilnya, beruntung mereka belum memasuki jalur Tol.

Setelah menemukan tempat aman untuk memarkirkan mobilnya, Jevian menghadapkan tubuhnya sambil berbicara lembut pada Tyana.

" Jahat kenapa hmm?"

Tyana yang di tatap dan di beri pertanyaan itu sedikit merasa gugup, entah kemana kepercayaan diri yang diperlihatkannya selama ini, padahal tadi dengan yakin dia melontarkan kalimat itu pada Jevian.

" Mengenai hal semalam" jawabnya sambil berusaha memberanikan diri menatap wajah Jevian.

Setelah mendengar itu senyum tipis terbit di bibir Jevian.

" Memang sudah seharusnya aku bilang begitu kan" ucapnya penuh keyakinan.

Tyana yang mendengar ucapan Jevian menatap Jevian dengan nyalang sepertinya kepercayaan dirinya sudah kembali.

" Apa yang memang seharusnya Jev? Kita udah bahas ini sebelumnya, kamu tau kondisi saya dan saya yakin kalau kita tetap ngejalanin ini pasti tidak akan berhasil"

" Apa yang tidak akan berhasil Tyana? Kita bahkan belum mencoba"

" Tapi pernikahan itu bukan untuk coba-coba Jev!"

Ketengangan kembali mulai tercipta.

" Yana.. seperti yang aku bilang kemaren, aku akan bantu kamu supaya lepas dari trauma itu dan pakai aku sebagai obatmu"

"Tapi aku ngak mau manfaatin kamu Jev!"

Tyana menarik serta menghembuskan nafasnya perlahan, rasanya terlalu rumit untuk di jelaskan entah mengapa terasa sulit ketika ada seseorang yang mau kembali masuk kedalam hidupnya, menawarkan sebuah komitmen seumur hidup yang dirangkai dengan kata pernikahan, itu membuatnya sesak dan takut.

Emosi Tyana masihlah menyala, dengan tenang Jevian kembali bersuara.

" Ngak papa Yana, manfaatin saja aku kalau memang itu bisa membuatmu lepas dari bayang-bayang masa lalumu aku senang kalau memang aku adalah obatmu Tyana--"

" Maaf kalau ini terlihat memaksamu tapi yakinlah Aku akan membantumu, Aku tidak menjanjikan bahwa di pernikahan kita tidak ada air mata karena air mata tidak hanya dari kesedihan melainkan juga dari kebahagiaan, dan aku juga tidak menjanjikan bahwa hanya ada kebahagiaan di pernikahan kita tapi aku akan selalu berusaha dan memastikan kamu bahagia Tyana--"

" Aku hanya manusia biasa tapi satu hal yang kamu tau dan tolong pegang kata-kata ku ini bahwa aku berjanji tidak ada orang ketiga di pernikahan kita aku pastikan itu"

Setelah mendengar kalimat-kalimat penuh keyakinan dari mulut Jevian tersebut Tyana kembali menatap pada iris coklat laki-laki itu.

" Ingat Yana.. Aku Jevian Farras Arganta, dan aku bukanlah Arianda"

Iris Coklat itu Menatap Tyana dalam serta penuh keyakinan, setelah mendengar dan melihat sorot keyakinan dari Jevian, Tyana terdiam seribu basa; tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

Sepuluh menit berlalu, Tyana masih terdiam pandangannya dia alihkan ke luar jendela dengan sabar Jevian menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut Tyana karena dari tadi dia juga melihat gadis itu kebingungan seperti kehilangan pijakan serta rasa percaya dirinya lagi.

" Sa..saya takut Jevian"  satu kalimat lirih keluar dari mulut Tyana

"Apa sebegitu menakutkannya aku bagimu Tyana?" Dengan lembut Jevian menanggapi ucapan Tyana.

Mendengar itu dia menggeleng, Tyana tau ketakutannya bukan hanya dari rasa traumanya tapi dia juga takut kalau pernikahan ini tidak berhasil dan penyebabnya adalah dirinya sendiri, ketika Jevian sudah berusaha meyakinkannnya tapi dia sendiri belum yakin dengan kesungguhan laki-laki itu.

Tidak hanya itu saja dia sebenarnya juga takut, bagaimana kalau dia suatu saat bisa nyaman dengan Jevian dan juga  bagaimana kalau suatu saat dia betul-betul jatuh cinta pada Jevian karena itu tidak menutup kemungkinan dan kalau itu benar terjadi dia takut, takut kalau Jevian tidak bisa memegang janjinya, ya. Dia takut Jevian meninggalkannya sama seperti sang masa lalunya dia tidak mau terluka lagi.

Sebenarnya itulah inti dari ketakutannya selama ini, dia takut menjalani hubungan dengan orang lain yang mana itu akan menimbulkan gejala traumanya, jangankan menjalani hubungan baru sedangkan ada saja yang mendekatinya gejala itu akan muncul, dan saat ini apa iya Jevian bisa menyembuhkannya, menghampus bayang-bayang masa lalunya ?

Semua pertanyaan berperang dalam kepala, sesak kembali menghimpit dada, peluh membanjiri tubuhnya padahal suhu didalam mobil sedang berada di angka 17' celcius ; dia kembali kambuh.

.
.
.
.
.


TBC



Hallo, semua... maaf baru kembali karena akhir-akhir aku sedang berada di fase lelah dan bosan jadi kehilangan semangat untuk menulis.

Apalagi kerjaanku dikantor kadang bikin pusing (curcol dikit 😅)

Tapi aku akan berusaha untuk tetap konsisten update kisah Jevi dan Yana, terima kasih juga bagi yang masih setia menunggu.

Maafkan juga kalau tulisanku masihlah belum rapi dan mungkin sedikit membingungkan, kalau ada yang bingung langsung tanya di kolom komentar aja yagesya 😊

Sekali lagi terima kasih sudah membaca 😁

See u next chapter

Sun (Your My Medicine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang