Langit || 18

9.1K 393 34
                                    

Happy reading!!!

Ramein terusss dong!!!

***
Beberapa tahun kemudian ....

Hilang.

Kosong.

Hampa.

Enggak seneng, enggak juga sedih. Semuanya terasa ... Hambar. Sepertinya itu yang cocok untuk mendeskripsikan perasaan Langit saat ini. Perasaan yang sering Langit rasakan bersama kesendirian.

Dua belas tahun berlalu ... Dua belas ... Waktu yang sudah pasti tidak lama. Dan semuanya berubah total. Kekosongan, kesendirian, dan kesepian. Yah ... Langit tidak tau kenapa takdir selalu sekeji ini. Kenapa ia tidak pernah bisa menggennggam sebuah kebahagian yang lama. Ia hanya ingin ... Bahagia.

Bebas dari sel tahanan tidak menjamin bisa selega itu. Karena ada perasaan yang kosong, perasaan yang membuatnya ingin mengisi ruang tersebut. Dua belas tahun, yang artinya ia sudah berusia tiga puluh lima tahun. Langit tertawa kecil, bahkan sampai setua ini, dirinya tidak pernah bahagia.

Kemana ia harus pulang saat ini? Kalau tidak ada rumah untuk berpulang, lebih baik ia hidup dalam sel jeruji selamanya bukan?

Kakinya masih setia berdiam disebuah rumah masa kecilnya. Apa ini masih bisa ia sebut dengan rumah masa kecilnya? Rumah yang bahkan sudah ia hancurkan kebahagiaannya itu. Ah sudahlah! Untuk apa ia kembali? Lebih baik  pergi saja bukan?

Pria dengan kaos cream panjang dan celana jeans itu memilih untuk membalikkan badannya.

"Bang Langit?" panggilan itu sontak membuat langkahnya terhenti. "Ini abang kan?" suara itu ... Suara yang selama ini bertahan dalam kehancuran yang telah ia ciptakan.

Pelangi, wanita itu tampak semakin cantik dan terlihat sangat dewasa. Pelangi berhenti di hadapan Langit dengan wajah yang berbinar. Detik kemudian ia memeluk tubuh Pelangi. "Bang Langit ... Aku kangen. Kenapa abang enggak ngabarin kalau udah bebas? Aku kira bukan hari ini."

Langit mematung seketika. "Ma-maafin gue," tuturnya pelan karena ia merasa tenggorokannya tercekat hebat.

Pelangi melepas pelukannya. "Abang kenapa enggak masuk? Kebetulan di dalam lagi kumpul."

"Gue enggak pantes Ngi. Gue gak mau hancurin kebahagian kalian lagi."

Pelangi menggeleng pelan. "No, no. Don't say it please. Jangan berpikiran kayak gitu. Kita semua tetep keluarganya bang Langit. Ayo masuk ya?"

Langit terenyuh mendengar kalimat dari Pelangi. Gadis kecilnya itu sudah sangat dewasa. Ah iya, dia baru menyadari kalau perut Pelangi buncit. Hamil lagi? Berarti Pelangi memiliki tiga anak. Gafar—Suami Pelangi emang benar-benar.

"Kamu hamil lagi, Ngi?" tanyanya sambil terkekeh pelan.

"Iya bang. Hehehe. Doakan aja ya."

"Hm. Pasti."

"Jadi gimana? Mau masuk enggak?"

"Gue ... Belum—"

"Langit! Masuk!" teriakan Awan membuat Langit mengumpat pelan.

***
Jujur, awalnya ia akan pergi sejenak dari keluarga ini atau bahkan, pergi sejauh mungkin dengan waktu yang tidak dipastikan. Tapi kenapa ... Kini ia malah terjebak dalam sebuah rumah dengan keluarga yang sudah berkumpul bahkan ia dapat merasakan suasana yang penuh bahagia dan keharmonisan.

"Lang. Apa kamu punya tujuan setelah ini?" Tanya pria paruh baya dengan wajah yang mulai keriput. Namun aura nya masih bugar dan sehat. Abangnya sudah seperti mafia.

Langit [END ✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang