Chapter 1

119 40 15
                                        

Seorang wanita paruh baya berjalan menuju pintu kelas dengan langkah mantap. Rambutnya yang beruban memancarkan kebijaksanaan dan matanya yang tajam memancarkan aura ketegasan. "Selamat pagi, anak-anak!" sapanya dengan suara yang ramah namun penuh otoritas.

Dengan senyum yang hampir bersamaan, seluruh siswa menjawab sapaan guru mereka. "Pagi, Bu," terdengar riang, memenuhi ruang kelas yang sebelumnya hening."

"Baiklah, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, Ibu mau mengucapkan selamat kepada Luna telah berhasil memenangkan olimpiade matematika yang kesekian kalinya. Mari kita memberikan tepuk tangan yang meriah!" ucap wanita paruh baya itu sambil mengangkat tangan dan menepuk-nepuk telapak tangannya dengan semangat. Namun, yang terdengar hanyalah tepuk tangan yang hambar dan singkat, seolah kemenangan Luna tak lebih dari sebuah formalitas.

Waktu berlalu dengan lambat, tiap detik terasa seperti tahun. Akhirnya, bel istirahat berdering. Luna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang tak menentu. Dengan langkah pasti, ia menuju atap sekolah yang terik. Shintya dan teman-temannya, dengan pakaian mencolok dan sikap angkuh mereka, sudah menunggu, menciptakan bayangan yang mengancam dan membuat Luna merasa semakin kecil.

Srett... Suara pintu yang berderit pelan mengiris kesunyian. Shintya tersenyum sinis, tatapannya yang tajam seperti pisau menusuk Luna. Bau parfumnya yang menyengat dan sikap congkaknya membuat Luna merasa tercekik.

Dengan gerakan cepat, salah satu teman Shintya menutup pintu, mengisolasi mereka dari dunia luar. Luna merasakan jantungnya berdebar kencang di dadanya, tetapi ia memaksa dirinya untuk menatap mata Shintya, berusaha melawan rasa takut yang menghimpitnya.

Shintya menyeringai, mata sipitnya menyiratkan penghinaan. "Kirain nggak bakal dateng," katanya, suara tinggi dan sombongnya terdengar seperti cercaan. "Udah siap mental?" Angin dingin berhembus, menambah suasana tegang. Luna berusaha terlihat tenang, namun tangannya gemetar sedikit saat ia menatap mata Shintya, tatapannya yang berusaha teguh menyembunyikan kegugupannya.

Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, "Aku nggak takut sama kamu." Suaranya memang bergetar sedikit, tetapi rahangnya terkatup kuat, menunjukkan tekadnya yang bulat.

Shintya mengerutkan kening, sebuah senyum sinis mengembang di bibirnya. "Wah? Luar biasa, bisa ngomong gitu ternyata?" Ia menggelengkan kepala pelan, nada suaranya yang merendahkan semakin memperkuat ejekannya.

Luna mengepalkan tangannya, tatapannya tajam dan menusuk. "Aku tau rahasia ibu kamu," katanya, suaranya bergetar, namun matanya memancarkan tekad yang kuat. "Kalo kamu masih berbuat macem-macem ke aku, hidupmu nggak akan bisa semulus ini lagi."

Wajah Shintya memerah karena amarah, matanya menyala. Tatapannya yang mengancam ditujukan pada Luna, namun getaran di suaranya mengungkap rasa panik yang disembunyikannya. "Nggak usah sok tau segalanya. Meskipun lo nyebar berita yang enggak-enggak, lo yang bakal dikeluarin dari sekolahan ini, ngerti?"

Luna meneguhkan dirinya dan tidak membiarkan intimidasi Shintya mengalahkannya. "Aku cuma mau kamu hapus foto yang sudah kamu sebarin," ucapnya, suaranya lantang dan jelas. "Atau—" Sebelum Luna bisa menyelesaikan ancamannya, Shintya memotongnya.

"Atau apa? Lo mau sebarin berita hoax itu juga? Lagi pula emang ada bukti kalo gue yang sebar? Haha!" Shintya menyenggol kepala Luna dengan keras, tangannya yang kasar mendarat di pelipis Luna.

"Dan ada benernya kok, foto lo yang lagi ada di club itu, FAKTA!" Ia menekankan kata "fakta" dengan penuh kemenangan, sementara Gea dan Kayla tertawa terbahak-bahak, menginjak-injak harga diri Luna tanpa ampun.

"Se-sesuai yang kamu bilang tadi 'nggak usah sok tau segalanya'," balasnya dengan kegagapan sembari menundukkan kepala.

Mereka berdiri di tepi balkon lantai atas. Shintya mendekat, menempatkan tangannya di pundak Luna, jaraknya sangat dekat dengan jurang. "Udah nggak sayang sama diri sendiri? Berani juga sekarang." Suaranya berbisik, namun ancamannya terasa nyata. "Asal lo tau, gue bisa aja dorong lo dari atas sini, Luna."

"Dorong aja kalau kamu berani, lagi pula kamu akan ditangkap polisi jika melakukan pembunuhan terhadap seseorang." Keringat membasahi keningnya, menunjukkan betapa gugupnya ia sebenarnya.

Shintya tertawa terbahak-bahak, tawa yang penuh percaya diri dan sedikit mengejek. "Haha! Meskipun gue ketangkep, ortu gue nggak bakal tinggal diam, sayang!"

"Nggak bakal tinggal diam gimana tuh? Oh, dengan duit..." Ia menepis tangan Shintya dari pundaknya, nada bicaranya dingin dan menusuk.

Seketika itu juga, Shintya berteriak, suaranya penuh amarah. Kemudian, napasnya tersentak, ia menatap Luna dengan tatapan tajam, suaranya berubah menjadi lebih dingin dan penuh ancaman, "Lo lanjutin perkataan itu, gue nggak akan segan-segan buat ngehabisin lo di sini!"

Gea dan Kayla saling bertukar pandang, kening mereka berkerut bingung. Suasana tegang di antara Luna dan Shintya membuat mereka tak mengerti. Gea, mewakili rasa penasaran mereka, mengucapkan pertanyaan dengan ragu, "Duit... apa?"

"Emang kalian nggak ta—" Gadis jahat itu sontak memotong ucapan Luna lagi, suaranya dingin dan penuh kekesalan. Ia tak membiarkan siapapun menyelesaikan kalimatnya.

Dengan tawa sinis yang sengaja dibuat-buat, Shintya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Nggak usah didengerin, dia cuma asal ceplas-ceplos."

"Orang kayak gini terlalu banyak omong." Kalimat itu belum sepenuhnya keluar dari mulut Shintya, tangannya sudah dengan cepat dan tepat mencengkeram leher Luna. Luna bahkan tak sempat berteriak, napasnya langsung sesak, dunia di sekitarnya berputar, dan kemudian semuanya menjadi gelap gulita saat ia jatuh pingsan.

****************

Jangan lupa vote, komen n follow sebelum lanjut ke bab berikutnya.

--- 🦢🤍 ---

Identitas Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang