- Prolog

175 38 27
                                    

Bayangan senja menari di balik jendela kamar, menciptakan siluet dua gadis yang begitu berbeda, Siluet itu menggambarkan perbedaan yang sangat mencolok antara kami. Aroma buku-buku tua dan logam memenuhi ruangan, bercampur dengan hawa dingin yang menusuk dari jendela yang terbuka sedikit.

Luna, dengan rambut hitam panjangnya yang dikepang rapi dan berkilau seperti sutra, tampak begitu tekun memperhatikan robot kecil buatan Papa yang sudah usang dan rusak. Robot itu berderit pelan dan terasa dingin serta kasar saat disentuh, namun tetap dirawat dengan penuh kasih sayang.

Di mata orang lain, Luna mungkin terlihat seperti seorang gadis kutu buku. Namun, bagiku, dia sungguh cantik, sekalipun beberapa orang menganggap gayanya kuno karena selalu membawa robot usangnya.

Jangan salah, di balik penampilannya yang sederhana, Luna memiliki kemampuan luar biasa. Kemampuannya memecahkan soal matematika tingkat lanjut dengan cepat, atau merancang program komputer yang kompleks, membuktikan kecerdasannya yang luar biasa.

Saat kami masih berusia 10 tahun, orang tua kami sering sekali bertengkar, bahkan hanya karena masalah sepele mereka memperbesar masalah itu... Kami mencoba menutup pintu kamar, bersembunyi dibalik selimut, namun, suara itu tetap menggelegar, menghantam kedamaian malam.

Malam, yang biasanya menyapa dengan pesona bintang berkelap-kelip dan selimut langit bertabur debu bintang, kini terasa dingin dan menusuk.

Di tengah bisikan angin malam yang dingin, aku bertanya-tanya: Kenapa malam ini berbeda? Kenapa mereka berani melakukan ini? Kenapa Papa, yang seharusnya menjadi pahlawan, malah menusuk Bunda dari belakang? Kenapa mereka setega ini kepada kami? Jika akhirnya begini, maka tidak usah menikah dari awal, ini malah membuat kami tertekan dengan tingkah kalian. Ribut, ribut, ribut. Aku mengatupkan tangan erat, seolah ingin meredam amarah yang meluap dalam diriku.

Dengan air mata berlinang, Bunda meminta cerai, dan itu membuat Papa dan Bunda bertengkar hebat. Suara ribut menggema di sekitar kami, benda tajam berjatuhan, dan suara pecahan kaca membuatku dan kakakku sangat ketakutan. Dada kami sesak, melihat mereka terus-terusan seperti ini.

Aku dan Luna tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa duduk di kamar dan menahan air mata yang mengalir. Kami berpegangan tangan erat, seolah ingin mencari kehangatan di tengah suasana yang mengerikan itu. Kejadian itu tak pernah terlupakan dan akan menjadi momen yang paling kelam bagi kami...

Setelah perpisahan itu, rumah kami yang dulu utuh terbagi dua. Luna tinggal bersama Papa, dan aku tinggal bersama Bunda. Kami jarang bertemu sejak saat itu, tapi kami tetap saling menjaga komunikasi.

Tiba-tiba, aku mendengar kabar bahwa Papa telah menikah lagi, sebuah berita yang menusuk seperti hujan dingin yang membasahi kaca jendela. Aku menatap ke luar, air mata memburamkan pandanganku, seolah ingin mencari jawaban di antara buih-buih hujan yang jatuh.

Sepertinya, anak kembar satu ini memang ditakdirkan terpisah? Bagaimana lagi, Papa tidak mau berubah, dan akan memilih orang baru itu, dia penghancur! Aku membenci wanita itu, dia bagaikan monster yang tiba-tiba datang ke dalam kehidupan kami.

⚠️⚠️⚠️
_______________________________

Namun, sebelum melanjutkan kisah Anya, mari kita dengarkan terlebih dahulu cerita Luna setelah peristiwa itu terjadi.
_______________________________

Tujuh tahun telah berlalu dan kehidupan pun berubah secara perlahan. Keluarga kecil yang awalnya harmonis telah sibuk masing-masing setelah perpisahan yang menyakitkan.


Matahari terbit dengan cahaya yang menakjubkan, menyapa pagi yang cerah dengan udara sejuk yang menyegarkan. Suara burung berkicau merdu di langit biru yang tak berawan.

"Luna! Bisa buruan nggak, klien Papa udah nungguin," teriak Papa dari lantai bawah.

Dengan jantung berdebar, aku berlari menuruni tangga. "Iya Papa... tungguin Luna."

Setelah sampai di sekolah, semua orang menatap diriku dengan tatapan yang sinis dan tajam. Aku tak tahu kenapa semua orang begitu membenciku, padahal sebelumnya mereka sering memuji kemampuanku.

Seorang gadis dan dua temannya mendekatiku. Dia mendorong bahuku sehingga aku terjatuh menyentuh lantai. "Duh, nggak sengaja nih, jatuh ya? Lemah banget sih jadi orang," hina gadis itu menatapku dengan pandangan yang menjijikan.

Aku berpikir kehidupanku di sekolah akan baik-baik saja, tapi kenyataannya semua telah berubah, baik di rumah maupun di sekolah.

"Maaf Shin... Kamu pasti punya mata kan? Lain kali hati-hati ya kalo jalan," sahutku, mengangkat kepala perlahan sambil memaksakan senyum tipis yang terasa getir di bibirku.

"OMG! Lo udah punya nyali ya buat ngejawab? Temuin gue di atap sekolah, pas jam istirahat," kata Shintya, matanya melotot tajam, seolah ingin menerkamku.

tringg... Suara lonceng yang nyaring dan tegas membahana di seluruh sekolah, menandakan dimulainya hari pelajaran.

Siswa-siswi berlarian dan berdesakan di koridor sekolah yang ramai. Aku berjalan sendirian, langkahku gontai dan berat, mengendong tas besar yang terasa semakin berat karena beban pikiran. "Kenapa aku harus bertemu orang kayak mereka, kenapa harus aku..." Suaraku hampir tak terdengar di tengah hiruk pikuk koridor sekolah. Aku merasa terisolasi, terasingkan dari dunia sekitar, dihantui oleh rasa sakit dan ketidakadilan.

****************

Jangan lupa vote, komen n follow sebelum lanjut ke bab berikutnya.

--- 🦢🤍 ---

Identitas Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang