Chapter 6

75 27 6
                                        

Sekarang, Anya dan Shintya sedang berjalan menuju ruangan kepala sekolah, diawasi erat oleh sosok Pak Samsul yang berada tepat di belakang mereka. Kedua gadis tersebut saling beradu pandang dengan tatapan yang sarat akan sifat sinis.

Saat mereka memasuki ruang kepala sekolah, mereka disambut oleh Ibu Lela yang terlihat sudah menantikan dengan wajah serius. Melihat kapas berlumuran darah di hidung Pak Samsul, Bu Lela menghela napas panjang. "Huh."

"Saya permisi dulu, Bu." Pak Samsul segera beranjak menuju pintu ruangan, disertai tatapan yang begitu tajam dan posisi tangannya yang tampaknya penuh amarah, seolah-olah hendak melakukan tinjuan.

Ruangan kepala sekolah sunyi senyap. Bu Lela mengangguk pelan, "Duduk," ujarnya, menunjuk kursi di depan meja kerjanya yang besar dan cokelat tua. Anya dan Shintya duduk dengan rasa tidak bersalah.

Bu Lela menatap Anya dan Shintya dengan pandangan tajam. "Apa menurut kalian itu adalah perilaku yang terpuji?" tanyanya, suaranya datar namun berwibawa. Suasana ruangan tiba-tiba menegang. "Kalau ditanya, ya jawab!" bentaknya, menunjukkan ketidaksukaannya pada sikap diam mereka.

Keduanya sama-sama terlonjak kaget saat Bu Lela mengangkat suara secara kencang. "Maaf bu, dia duluan yang mancing emosi saya," bantah Anya dengan pandangan menunduk.

Shintya tak dapat menerima pembelaan Anya. Ia merasa tuduhan itu tidak adil. "Maksud lo?" sergahnya, memutar bola matanya. Memalingkan wajah ke arah Anya, ia melanjutkan dengan nada sinis, "Sadar diri dong!"

"Cukup, Shintya!" Bu Lela memotong pembicaraan mereka dengan suara tegas. "Seharusnya kamu bisa berbaur baik dengan teman baru mu, bukannya membuat keributan yang tidak bermoral!" Ia menekankan setiap kata-katanya.

Shintya hendak membela diri, "Tapi bu—" Namun, Bu Lela langsung memotong ucapannya dengan gerakan tangan yang cepat dan tegas.

Bu Lela mengalihkan pandangannya ke Anya. "Kamu juga, Anya. Ini hari pertama kamu masuk sekolah, tapi kelakuanmu sudah begini. Jika kamu mengulanginya lagi, saya akan hubungi Ibu kamu dan memberikan hukuman yang setimpal." Ancamannya terdengar serius dan tak bisa ditawar.

"Ya Bu, maaf," jawab Anya singkat, suaranya datar dan menunjukkan rasa malasnya berada di ruangan tersebut. Ia tampak ingin segera meninggalkan ruangan.

Bu Lela memberikan isyarat kepada Anya untuk pergi. "Bagus, silahkan keluar," katanya, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan kelegaan. Lalu, dengan perubahan ekspresi menjadi lebih serius, ia menatap Shintya. "Kecuali kamu, Shintya," ujarnya.

Tanpa melirik Shintya, Anya bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan kepala sekolah. Sikapnya menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak mempedulikan nasib Shintya.

Dengan napas yang memburu, Bu Lela mendekati Shintya setelah Anya keluar. "Saya malu punya anak seperti kamu. Sudah berapa kali saya harus bilang? Jaga sikap kamu. Apa yang bisa saya banggakan dari kamu? Tidak ada. Bahkan prestasimu selalu kalah," gerutu Bu Lela dengan nada kesal, tegas, dan kecewa yang bercampur aduk.

Shintya memutarkan bola matanya, dia sudah sangat muak berada di sana. "Cuma itu yang mau Ibu bilang? Malu punya anak kayak aku? Aku udah berusaha keras!" Ia berdiri, suaranya bergetar menahan air mata yang mengancam jatuh.

"Berusaha keras kata kamu? Wow, kalo iya... mana? Kenapa nggak ada hasil? Karna kamu nggak pernah mau ikutin perintah saya. Seharusnya kamu bisa mengalahkan prestasi Luna!" Bu Lela mengejek Shintya dengan nada sinis, suaranya penuh ketidakpuasan.

"Hasil Ibu bilang? Ibu aja nggak pernah ucapin selamat ketika aku juara, Ibu maunya aku jadi juara 1 teruss. Ibu nggak liat pengorbanan aku belajar mati-matian tapi hasilnya tetap sama. Ibu selalu nuntut aku buat jadi sempurna. Dan, aku nggak mau disama-samain sama kutu buku itu."

Shintya terlihat sangat frustasi. Kedipannya menjadi cepat, bibirnya bergetar karena menahan emosi yang dipendam. Ia berjalan keluar menahan air matanya supaya tidak terjatuh menyelimuti wajahnya.

Secara diam-diam, Anya telah memasang perekam suara mini di dekat jendela ruang kepala sekolah, terhubung langsung ke ponselnya. Ia mendengarkan pertengkaran Bu Lela dan Shintya dengan penuh konsentrasi. Saat Shintya berlari pergi, Anya berbisik, "Jadi mereka... keluarga?" gumamnya pelan, mencoba mencerna informasi yang baru didengarnya.

Rasa penasaran masih menggelayut di benak Anya. Ia melanjutkan langkahnya menyusuri sekolah, pikirannya masih tertuju pada hubungan Bu Lela dan Shintya. Melihat salah satu teman sekelasnya,  ia memanggilnya.

"Hey! Nama lo siapa?" sapa Anya ramah, langkahnya menyesuaikan kecepatan jalan Maya.

Maya menatap Anya sebentar, lalu menjawab dengan suara lembut, "Hai juga... Namaku Maya." Ekspresinya tenang, matanya masih tertuju pada buku-buku yang dipegangnya.

"Okay, Maya! Eh, ngomong-ngomong, gue dengar ada teman kelas kita yang kecelakaan, iya kan? Siapa ya? Gara-gara apa, sih?" Anya mendekati Maya, suaranya penuh rasa ingin tahu, namun pertanyaannya tetap berupa jebakan.

Maya berhenti, matanya berkedip beberapa kali. Ia tampak gugup, menelan ludah dengan susah payah. "Ada apa? Tiba-tiba banget." Tatapannya yang penuh kecurigaan memperlihatkan ketegangan di antara mereka.

"Ah itu... Biar ada topik aja sih," jawab Anya, mencoba terdengar santai, namun jantungnya berdebar kencang, mengungkapkan kebohongannya.

Maya mengerutkan kening, menunjukkan kecurigaannya terhadap Anya.  Tapi, ia tetap memutuskan untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Benar, namanya Luna. Selebihnya aku nggak tau karna apa. Satu lagi aku cuma mau kasih peringatan ke kamu, jangan berhubungan dengan Shintya dan teman-temannya kalo kamu nggak mau kenapa-napa," ujarnya dengan nada datar, gerak-geriknya seolah dia mengetahui sesuatu.

"Kenapa?" Anya menatap Maya dengan intens, menunggu jawaban dengan penuh harap. Ekspresinya menunjukkan rasa penasaran yang besar.

"Aku di sini cuma ngingetin kamu karena kamu di sini anak baru, jangan sampai punya masalah sama mereka," Ia mempercepat langkahnya, meninggalkan Anya dengan rasa penasaran yang menggantung.

****

Semakin jauh kita melangkah, semakin dalam bayangan rahasia yang disembunyikan menyelimuti kita. Setiap langkah yang kita ambil, setiap petunjuk yang kita temukan, seakan membuka tabir baru, namun juga mengungkap teka-teki yang lebih rumit.

Mungkinkah kebenaran akan segera terungkap? Atau apakah kita hanya akan tersesat dalam labirin misteri yang tak berujung?

****************

Identitas Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang