Chapter 2

71 30 9
                                    

Aku terjaga dalam sebuah ruangan yang memiliki aroma khas dan berhawa dingin. Aroma itu cukup familiar, sebuah ruangan UKS. Aku membuka mataku perlahan dan melihat sekeliling. Udara segar, tenang, dan sedikit keharuman obat memberi rasa ketenangan.

"Udah siuman?" Pertanyaan itu datang dari seorang gadis cantik yang duduk di samping ranjang Luna.

"Bukankah itu Kiera? Kenapa aku bisa berada di sini?" batin Luna, memandangi Kiera dengan kebingungan.

Kiera menjelaskan semuanya tanpa Luna bertanya langsung, dia berbicara dengan suara lembutnya. "Gue tadi nggak sengaja liat lo ada di atap sekolah dengan keadaan pingsan. By the way, gimana keadaan lo sekarang?"

"Oh begitu, makasih ya... Aku baik-baik aja kok. Eum... kalo gitu aku duluan," jawab Luna tersenyum tipis, sembari bergerak keluar UKS menuju kelas, karena dia merasa canggung berada dekat dengan pusat perhatian orang di sekolah, padahal Kiera tidak merasa keberatan sama sekali.

Seiring berjalannya waktu, karena Luna sempat tidak masuk sekolah beberapa minggu, situasinya pun semakin berubah. Shintya sudah jarang mengganggunya lagi. Akan tetapi... traumanya tak bisa hilang begitu saja. Setiap hari, gadis itu menangis di kamarnya dengan suara yang tersedu-sedu.

Luna mengunci pintu kamarnya. Ia tak bisa menahan trauma yang begitu dalam. Air mata yang tak terbendung terus mengalir. Setiap hari, di rumah atau di luar rumah, Luna selalu merasa takut karena intimidasi yang terus dilakukan oleh Shintya dan teman-temannya. Kendati intimidasi berkurang, trauma itu tak kunjung hilang.

"Apa lagi yang harus aku lakuin, supaya rasa trauma ini bisa hilang... Aku juga mau jadi pemberani..." ujar Luna, sembari mengusap air matanya yang terus mengalir di pipi lembutnya.

*Berdering...

Suara ponsel berdering. Dia dengan sigap mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata...

"Anya...? Ada apa?" tanya Luna yang seketika mengubah nada bicaranya menjadi biasa-biasa saja.

"Mau ketemuan nggak? Udah lama juga kita nggak nongkrong, atau... gue ke rumah lo deh, bosen banget Lun," ajak Anya melalui telepon.

"Duh... lain kali aja ya, aku lagi sibuk banget, Nya." Jawabannya membuat Anya semakin curiga tentang keadaannya yang tidak baik-baik saja.

"Lo kagak bisa bohong dari gue. Lo abis nangis? Jangan bilang lo ngelukain tangan lagi?" tanyanya dengan sangat khawatir. Sudah berkali-kali Anya menasihati Luna untuk tidak melukai dirinya sendiri, tetapi itu sepertinya tak mempan.

"Halo Anya? Halo? Sinyalnya ngelag, aku nggak bisa denger kamu ngomong apa." Luna langsung mematikan ponsel. Itu hanyalah alasan semata untuk menghindari diri dari Anya.

Tentu saja Anya tidak percaya dengan perkataan Luna bahwa dia sedang sibuk. Dirinya bisa merasakan kesedihan yang sedang dirasakan Luna.

Luna melanjutkan tangisannya, rasa irinya terhadap kehidupan Anya yang dia pikir sangat sempurna, sungguh besar...

Aku iri dengan Anya, kembaranku sendiri. Kenapa aku nggak bisa kayak dia? Kenapa harus aku yang mengalami ini semua.

Air matanya perlahan menetes lagi ke lantai, membasahi pipinya yang lembut.

Suara langkah kaki wanita paruh baya terdengar sedang berdiri di depan pintu kamar Luna. "Waktunya makan malam, Mama sudah siapin makanan di bawah," panggil Mama tirinya setelah beberapa menit kemudian, sembari mengetuk pintu kamar Luna.

"Iya Ma... nanti Luna nyusul," sahutnya dari dalam kamar. Meskipun orang tuanya sering menyuruhnya untuk makan bersama di meja makan, Luna memilih untuk tetap makan di kamarnya. Sebenarnya, dia tidak suka terlalu banyak interaksi dengan mereka.

Saat di meja makan, Wanita itu memandang-mandang di sekitar meja. "Kayak ada yang kurang... Yaampun, saos."

Gadis yang bernama Luna melangkah menghampiri Tante Nita, Mama tirinya. "Ibu butuh sesuatu?" tanya Luna berdiri di sebelah meja.

"Nah untung ada kamu, Lun. Bisa tolong belikan saos sekalian gula di supermarket?" pinta Mama Luna sambil mengecek kembali barang yang ingin dibeli.

"Bisa, Bu," balasnya sembari tersenyum kecil.

Gadis itu menganggukkan kepalanya lalu pergi keluar rumah. Sementara itu, Anya mendatangi rumah kembarannya, karna merasa ada yang janggal terhadap sikap Luna.

*Toktoktok...

Suara ketukan pintu terdengar dari luar rumah. Seorang wanita paruh baya berjalan menuju pintu dan membukanya, menemukan seseorang di balik pintu.

*Srett...

"Kenapa? Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanya Mama Luna dengan nada jutek.

"Maaf Tan, saya cuma mau bertemu dengan Luna, ada?" balas Anya sambil melirik arah dalam rumah.

"Sebaiknya kamu pulang, Luna nggak ada di rumah, dia keluar. Pulang sana, nanti dicariin bundamu," ketus Mama Luna sembari menutup keras pintu rumahnya, sehingga membuat Anya meloncat.

Dia menghelakan napasnya dan mengepalkan kedua telapak tangan, lalu berjalan meninggalkan rumah tersebut dengan hati yang berat.

****************

Jangan lupa vote, komen n follow sebelum lanjut ke bab berikutnya.

--- 🦢🤍 --

Identitas Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang