Luna membuka matanya perlahan, cahaya redup di ruangan itu terasa lembut di kelopak matanya. Aroma khas UKS-familiar dan menenangkan-menyelimuti indranya. Udara segar dan tenang, dibumbui sedikit aroma obat-obatan, membantu meredakan kepalanya yang masih sedikit pusing. Dia melihat sekeliling ruangan yang dingin dan bersih.
"Udah siuman?" Suara lembut seorang gadis cantik yang duduk di samping ranjangnya membuyarkan lamunannya.
"Bukankah itu Kiera? Kenapa aku ada di sini?" batin Luna, sembari memandang Kiera dengan tatapan bingung, pikirannya masih melayang-layang, mencoba mengingat apa yang terjadi.
Dengan suara lembut dan penuh perhatian, Kiera menjelaskan semuanya tanpa menunggu Luna bertanya langsung. "Gue tadi nggak sengaja liat lo ada di atap sekolah dengan keadaan pingsan. By the way, gimana keadaan lo sekarang?"
"Oh begitu, makasih ya... Aku baik-baik aja kok," jawab Luna, senyumnya tipis dan canggung. Ia buru-buru bangkit dari ranjang, merasa tak nyaman berada dekat dengan pusat perhatian sekolah. "Eum... kalo gitu aku duluan," katanya, lalu bergegas keluar dari UKS menuju kelasnya, tanpa menyadari bahwa Kiera sama sekali tidak keberatan dengan kehadirannya.
Minggu-minggu berlalu. Ketiadaan Luna di sekolah membuat situasi sedikit berubah; Shintya sudah jarang mengganggunya. Namun, trauma yang dialaminya begitu dalam. Setiap hari, di balik pintu kamarnya yang tertutup rapat, Luna menangis tersedu-sedu, kesendiriannya menjadi saksi bisu kepedihan yang tak terkatakan.
Suara kunci pintu bergema di kesunyian rumah, menandai isolasi Luna dari dunia luar. Air mata hangat membasahi pipinya, dinginnya lantai terasa di bawah kakinya yang telanjang. Bau lembap ruangan seakan memperkuat rasa tertekan yang ia rasakan. Ketakutan, seperti bayangan, menyertainya kemanapun ia pergi, meski intimidasi Shintya dan teman-temannya berkurang, trauma itu tetap menggigit, menghancurkan ketenangan setiap harinya.
"Apa lagi yang harus aku lakuin, agar rasa trauma ini bisa hilang... Aku juga mau jadi pemberani..." ujar Luna, sembari mengusap air matanya yang terus mengalir di pipi lembutnya. Tangannya mengepal, menepuk dadanya dengan kuat, seolah ingin mengusir rasa takut yang menyerang hatinya.
*Berdering... Suara ponsel berdering, menghentikan lamunannya yang mencekam. Dengan tangan gemetar, Luna meraih ponselnya. Ternyata...
"Anya...? Ada apa?" tanya Luna, suaranya berubah seketika. Jejak air mata masih terlihat di pipinya, tetapi ia berusaha terdengar tenang, menutupi emosi yang masih bergejolak di dalam hatinya.
"Mau ketemuan nggak, Lun? Udah lama juga kita nggak nongkrong. Atau... aku ke rumah kamu deh?" ajak Anya melalui telepon.
"Duh... lain kali aja ya, aku lagi sibuk banget, Nya. Lagi pula, hari ini bukannya jadwal kamu latihan renang?" Jawabannya membuat Anya semakin curiga tentang keadaannya yang tidak baik-baik saja.
"Jangan bohong, Luna," Anya berbisik lembut, suaranya terdengar penuh kekhawatiran. "Aku hari ini sengaja libur. Suara kamu... abis nangiskan? Jangan bilang kamu ngelukain tangan lagi?" Ada jeda panjang sebelum ia melanjutkan kalimatnya, seakan menunggu jawaban Luna dengan cemas.
Nasihat Anya agar Luna berhenti melukai diri sendiri sudah berkali-kali disampaikan, namun tampaknya masalah Luna jauh lebih dalam daripada yang terlihat. Peringatan Anya sepertinya tak mampu menembus dinding pertahanan Luna.
Luna menahan isakan, mengigit kukunya hingga terasa sakit. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri. "Halo Anya? Halo? Sinyalnya ngelag, aku nggak bisa denger kamu ngomong apa," katanya, suaranya bergetar. Dengan cepat ia mematikan panggilan. Itu hanya alasan, cara untuk menghindari Anya dan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin terpuruk.
Anya mengerutkan kening. Penjelasan Luna tentang kesibukan terdengar sangat tidak meyakinkan. Ia kenal Luna dengan baik, dan ia tahu bahwa di balik kata-kata itu tersimpan kesedihan yang mendalam.
Isakan Luna pecah, mencurahkan seluruh kesedihan dan iri hatinya. Kehidupan Anya yang dianggapnya sempurna bagai pisau yang menusuk hatinya. Ia membanding-bandingkan dirinya dengan Anya, dan rasa iri itu membuncah tak tertahankan.
Aku iri dengan Anya, kembaranku sendiri. Kenapa aku nggak bisa kayak dia? Kenapa harus aku yang mengalami ini semua? Kenapa aku begitu lemah? Jika boleh meminta, aku tidak ingin dilahirkan...
Suara langkah kaki wanita paruh baya itu terdengar dingin dan tanpa ekspresi. Setelah beberapa menit, ketukan pintu yang singkat dan tanpa basa-basi. "Waktunya makan malam. Makanannya sudah di bawah," kata Mama tirinya, suaranya datar dan tanpa sedikitpun rasa hangat.
"Iya, Tan... Nanti Luna nyusul," jawabnya pelan, suaranya terdengar lesu. Meskipun sering diajak makan bersama, Luna lebih memilih menyendiri di kamarnya. Ia menghindari interaksi dengan mereka sebisa mungkin.
Wanita itu mengamati meja makan dengan teliti. "Hmm... ada yang kurang, ya?" gumamnya. Setelah beberapa saat mencari, ia berujar, "Ya ampun! Saosnya ketinggalan!"
Wajah Luna datar, namun matanya mengamati Tante Nita. Ia berdiri di samping meja, bertanya dengan nada pelan, "Mama butuh sesuatu?"
"Bisa belikan saos sekalian gula di supermarket?" pinta Tante Nita sambil mengecek daftar belanjaan yang akan dibeli.
"Bisa, Ma," balasnya sembari tersenyum kecil. Senyumnya... terlihat kaku.
Gadis itu menganggukkan kepalanya, lalu pergi keluar rumah. Sementara itu, Anya mendatangi rumah kembarannya, karna merasa ada yang janggal terhadap sikap Luna.
Tok... tok... tok. Suara ketukan pintu yang biasa saja. Wanita paruh baya itu berjalan menuju pintu, membuka tanpa curiga. Di balik pintu, terdapat seorang tamu tak terduga.
"Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanya Tante Nita dengan nada yang ketus.
"Saya mau bertemu dengan Luna, ada?" tanya Anya sambil melirik ke dalam rumah.
"Sebaiknya kamu pulang, Luna nggak ada di rumah, dia keluar. Pulang sana, nanti dicariin bundamu," ketus Tante Nita, sembari menutup keras pintu rumahnya, sehingga membuat Anya meloncat kaget.
Anya menghela napas panjang, kepalan tangannya menegang. Tatapannya yang tajam tertuju pada pintu tertutup itu, sebelum ia berbalik meninggalkan rumah dengan hati yang remuk.
Setelah membanting pintu dan masuk kembali, Tante Nita mendapati Luna masih berada di rumah, tengah menuruni tangga. "Kenapa masih di sini? Bukannya tadi kamu sudah keluar? Kenapa balik lagi? Males? Hebat." Suaranya meninggi, melambungkan kemarahannya.
Luna mengerutkan keningnya, tatapannya seperti orang bingung. "Maaf, Tan." Namun, pernyataan itu justru memicu kemarahan Tante Nita. "Panggil saya Mama! Berulang kali dikasih tau, masih aja!" Ia berteriak, jari telunjuknya menunjuk tepat ke arah wajah Luna.
Bayangan cambuk yang siap melayang membayangi langkahnya. Dia tidak menunggu lebih lama. Dengan gerakan cepat dan penuh kepanikan, dia berlari meninggalkan rumah, mencoba menghindar dari hukuman yang mengerikan.
****************
Jangan lupa vote, komen n follow sebelum lanjut ke bab berikutnya.
--- 🦢🤍 --

KAMU SEDANG MEMBACA
Identitas Tersembunyi
Mystery / ThrillerAnya dan Luna adalah anak kembar yang non-identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Luna, yang lembut dan sensitif, menjadi korban bullying yang kejam di sekolah. Perlakuan buruk yang diterimanya, ditambah dengan pengaruh negatif dari lingk...