Chapter 8

64 27 3
                                        

Dentangan bel istirahat bergema nyaring, menandakan berakhirnya kelas dan awal hiruk pikuk di koridor sekolah. Anya, yang sedari tadi mengamati Maya, buru-buru berdiri dan memanggil, "Maya, tunggu!"

Mendengar panggilan Anya, Maya menoleh, raut wajahnya penuh tanda tanya. Jari-jarinya menyentuh tangkai kacamata dengan satu tangan, lalu bertanya, "Ada apa?"

Keheningan menyelimuti mereka saat Anya meraih tangan Maya dan membawanya berlari ke kantin. Tak ada sepatah kata pun yang terucap.

Makanan dan minuman terhampar di meja kantin, namun Anya dan Maya hanya duduk diam saling bertatapan satu sama lain, suasana canggung menyelimuti mereka. "Gue mau nanya sesuatu," bisik Anya.

Setelah Anya menanyakan sesuatu, Maya memegang cangkirnya, jari-jarinya tampak sedikit gemetar. "Tanya apa?"

"Hubungan antara Shintya sama Ibu kepala sekolah itu ibu dan an...?" Ucapan Anya terhenti mendadak, matanya membulat karena terkejut saat Maya memotong pembicaraannya.

"Iya! Cuma itu yang mau kamu tanyain?" Nada bicaranya tinggi dan sedikit gemetar, menunjukkan kegugupannya yang tak tertahankan. Anya sampai tersentak.

Anya berusaha menyembunyikan motif sebenarnya. Dengan senyum lembut, ia berkata, "Engga, sebenernya mau nanya yang ini... Sejak kapan Shintya mulai ngebully Luna? Maksud gue nanya gini ya karna penasaran aja sih, pengen tau aja sifat Shintya kaya gimana." Suaranya terdengar sedikit dibuat-buat.

Pertanyaan Anya mengenai bullying itu bagai bom waktu. Maya langsung ketakutan, menjawab dengan tergesa-gesa, "Sebelas!" Ia lalu berdiri dan pergi sambil berkata, "Permisi!", meninggalkan Anya dengan banyak pertanyaan.

Anya merasa frustasi. Ia sudah hampir mendapatkan jawaban yang ia cari dari Maya, namun Maya tiba-tiba menghindar dan menutup pembicaraan.  Banyak informasi penting yang seharusnya bisa ia dapatkan dari Maya, tetapi kini sirna begitu saja.

Tiga gadis itu muncul begitu saja setelah kepergian Maya. Shintya, dengan gerakan cepat, menumpahkan sisa makanannya ke piring Anya. "Ups! sorry nggak sengaja," katanya, suaranya dipenuhi dengan nada sinis. Dua temannya ikut tertawa terbahak-bahak.

Anya menghela napasnya dengan sangat kuat. Lalu, dengan spontan, ia membalikkan keadaan. Es dalam gelasnya dituang tanpa ragu ke seragam Shintya dan kedua temannya.

"Eh, kena ya? Sengaja!" Anya tertawa kecil, suara yang terdengar mengejek. Ia mengangkat satu alis, memandang baju mereka dengan tatapan meremehkan. "Tambah bagus tuh baju lo, jadi ada corak Thai tea, haha!" Lalu, dengan langkah anggun dan sombong, ia pergi, meninggalkan Maya dengan senyum mengejek di bibirnya.

Air dingin yang dituang Anya membuat ketiga gadis itu tersentak. Mata mereka melotot tak percaya. Ekspresi kaget bercampur marah tergambar jelas di wajah mereka. "Kurang ajar lo!" teriak Gea jari, telunjuknya masih menunjuk ke arah kepergian Anya.

Begitu Anya sampai di kelas, Samuel langsung menghampirinya dengan sebungkus roti di tangan. "Nih, buat lo," katanya, menjulurkan roti tersebut kepada Anya.

"Makasih El," balas Anya, tersenyum manis sembari mengambil sebungkus rotinya.

Saat membereskan barang-barangnya, Anya menemukan sebuah kertas terlipat di laci mejanya. Ia membuka kertas itu, dan jantungnya berdebar kencang. Tulisan tangan yang tidak dikenalnya itu berisi ancaman yang mengerikan: "Pergi dari sini! Atau hidupmu akan kacau!"

****************

Identitas Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang