Napas hangat menyentuh telinga Ify, diikuti sebuah pernyataan tanpa nada mengancam yang turut memenuhi rongga telinga.
"Pertama, bantu aku buat menutupi identitas."
🎭🎭🎭
Beberapa kali Ify mengesah kecil. Pemuda yang menuntunnya ke tujuan sama sekali tak menanggapi lingkungan sekitar.
Ujung-ujungnya, aku berakhir melakukan ini.
Langkah Ify tetap mantap, tapi tidak dapat ia pungkiri, sebagian kesadarannya berkelana ke kejadian beberapa menit lalu. Ketika pertama kali bertatapan dengan Rio Kilimanjana.
Ya, tanpa Ify sadari semua terjadi begitu saja, sangat cepat. Hingga saat ini, Ify mengikuti alur permainan yang Rio buat. Tanpa satu patah kata apa pun selain permintaan laki-laki itu.
Alis Ify terangkat, serta-merta mengangkat bibir. Ia kenal sekali daerah yang sedang ia pijaki sekarang. Bukannya jalanan ini cukup dekat dengan tempat tinggalnya?
Menaiki anak tangga melingkar di luar salah satu deretan ruko sederhana, Rio berhenti di pintu paling dalam. Diikuti Ify yang serempak melakukan hal serupa, kali ini dengan pandangan heran. Pasalnya, dikarenakan letak untuk menemukan ruang ini yang seakan tersembunyi, Ify terpaksa sedikit memaksakan diri mengulang rute yang baru ia lalui agar dapat pulang nanti.
"Tunggu di sini."
Ify membatalkan niatnya untuk memijaki keramik bagian dalam. Mendapat angguk singkat sebagai respons, tubuh Rio terlebih dahulu melesat ke balik ruang gelap itu. Disandarkannya punggung ke kusen tinggi pintu depan selepas ia kembali ke hadapan Ify.
"Sudah. Kamu boleh masuk."
Jari telunjuk kurus itu menekan salah satu tombol terdekat. Membuat ruang yang tadinya gelap kini terlihat jelas.
Enggan susah payah berbalik, Rio langsung melenggang meninggalkan Ify. Lagi-lagi bersama sebuah kalimat.
"Abaikan apa pun yang kamu temukan di sini. Jangan tanyakan apa pun tentang itu."
Sepertinya itu sebuah alarm penanda bahwa Rio tidak membiarkan orang lain memasuki wilayah pribadinya. Ify kontan mendengkus datar.
Dari awal, jangan bawa-bawa aku dan biarkan aku mati aja.
Seiring Ify memasuki ruang–yang ia asumsikan sebagai tempat tinggal Rio–itu, matanya berkeliling ke setiap sudut.
Tempat itu tidak besar, sehingga tidak ada sekat yang memisahkan setiap bagian ruangan kecuali untuk kamar mandi berukuran sedang. Setidaknya menurut pengamatan gadis itu, histori yang ia ketahui tentang Rio agaknya tidak mencerminkan tata ruang ini. Tidak banyaknya perabotan yang Ify temukan justru menimbulkan kesan lumayan bersih dan rapi untuk ukuran gender laki-laki.
Ah, aku gak menyangkanya. Batin Ify seperti dikecewakan spekulasinya sendiri.
Pemuda yang sama beringsut ke lemari kayu di kanan ruang. Diletakkannya sebilah besi berujung lancip berdampingan dengan bingkai yang tertelungkup.
"Setelah hari ini gak ada kata mundur. Kamu akan bantu aku sampai selesai. Tidak lebih tidak kurang."
Kepala Ify beralih ke sumber celetuk. Belum sempat selesai menatap Rio, ia kembali membuka suara.
"Dan jangan coba-coba bohong apalagi berkhianat. Itu sudah yang paling penting."
Ify hanya berdeham mengiyakan. Warna suara Rio mendadak dingin membuat Ify mencoba menghindari masalah yang mungkin muncul jika dirinya berani macam-macam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...