11 - Berry Pretty

307 62 145
                                    

Mengatur oksigen yang sempat berkurang, laki-laki sebelumnya mendekati Rio dan Ify. Barisan gigi putih rapi tertampil di wajah.

"Senang bertemu lagi, Yo."

Rio perlahan menurunkan senjata yang ia gunakan.

"Deva?"

"Baru ingat?"

Senjata canggih di kepalan kencang itu turun ke dalam baju. Beberapa kali mengedarkan pandang ke sekitaran yang untungnya sedang lenggang.

Memastikan tak ada pasang mata lain, Rio mempersingkat jarak. "Kamu berubah cukup banyak."

"Puah! Ini, sih, alasan aja. Aslinya pun hampir lupa, 'kan? Akui aja. Padahal aku kangen, loh." Nada lawan bicaranya jenaka.

"Iya, iya. Maaf aja, ingatanku gak sekuat anak eksak bin jenius kayak kamu." Ia merengut sebal, namun tak lama kemudian tersenyum geli.

"Habisnya kamu main gantung leher aja," sambung Rio enteng, "siapa yang gak terkejut kalau mau dicekik coba?"

Si pelaku cekikikan tanpa dosa. Secara bertahap mulai mereda setelah menyadari suara kecil lain yang menahan geli.

Dimiringkannya badan lebih maju dari Rio. Menembus hadap ke dara anggun di sayap kanan pemuda itu.  "Ah, maaf tadi sudah menimbulkan sedikit keributan."

Kiri-kanan gerak kepalanya. Raut Ify mencerminkan pertanda baik. Tidak masalah.

"Ifiana, 'kan? Larissa Ifiana Tanuarja?"

Kerjapan lugu membuat wajah Ify begitu menawan. Ia memiringkan kepala tidak menangkap maksud Deva, tapi kakinya tetap ikut menyejajarkan langkah bertiga.

"Ternyata aslinya kamu lebih cantik. Biasa aku hanya baca di majalah milik sepupuku aja," ungkap Deva gamblang.

"Ah, terima kasih."

Dikaitkannya rambut yang membingkai pipi ke belakang telinga. Dalam hati dengan sungkan merutuk seorang diri.

Seharusnya ia bisa jauh lebih senang saat dipuji demikian. Hanya saja setelah sekian lama tidak menerima komplimen semacam itu, masih sukar sekali mencairkan kegembiraan yang telanjur membeku di dalam dirinya.

"Angga Devara. Itu namaku, panggil apa saja yang kamu mau."

Tak cukup sampai percakapan dan pandangan, kini uluran tangan Deva turut menyeberangi badan Rio yang menengahinya dan Ify.

Angga.

"Namanya Deva."

Belum lama menyambut salam dari Deva, penuturan Rio datang mengejutkan. Sontak Ify putuskan pikiran yang baru akan memproses panggilan yang dibuatnya, juga genggamannya dengan Deva.

Gerak memutar dari bola mata pemuda yang lainnya amat kentara. Kali ini Deva benar-benar berjinjit, mengapit erat leher Rio dengan siku.

"Kamu ini! Menganggu kesenangan orang lain, tau! Aku juga mau punya panggilan spesial dari gadis cantik!"

Napas Rio agak tersenggal, begitu pula Deva yang terlalu bersemangat menertawakan hal sesederhana itu.

"Hebat juga kamu bisa pacaran dengan Ifiana, Yo."

Rio melengos, malas meluruskan pada Deva yang–ia yakini–malah semakin jadi menggodanya.

"Bisa jangan kebiasaan buat pernyataan-pernyataan seperti itu? Wajahmu yang kelihatan ingin tau rasanya minta dipukul beneran."

"Ya, kalau tidak apa lagi?" Deva menarik sebaris balasan spontan.

"Jadi kalau bukan itu, artinya selama ini kamu menyendiri lagi?"

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang