Kelopak pelapis indera setajam elangnya mengepak ke atas. Dalam pejaman mata yang singkat, cukup bagi syaraf-syaraf Rio mempresentasikan wujud kecilnya, wujud terhebat menurutnya yang membuat dirinya hingga sekarang tanpa dipercaya dapat tegak berdikari.
Tak peduli sekelam apa pun, tak menghiraukan seberat apa pun. Sosok-sosok seperti dia dan Ify hidup di bawah bayang-bayang. Dan seperti bayangan, mereka tidak meninggalkan jejak namun selalu ada di mana-mana.
Lantas bekel di wajah Rio menembus beningnya manik Ify.
"Kita pernah hidup di bawah bayang-bayang. Sekarang, kita mencoba untuk keluar dari sana. Tidak ada yang salah dengan itu."
Meski tidak membalas buah kata maupun pancaran cahaya yang menatapnya lekat, mustahil bagi Ify untuk menutupi bahwa tubuhnya ikut bergetar. Sebagai gantinya, gadis itu mengeraskan cengkraman pada siku-siku kursi yang disinggahi. Sontak memandangi badan bawahnya yang tidak tampak berbeda sama sekali dari luar, namun mampu memberi buncah hebat dalam dada.
Cakrawala tanpa bintang menampakkan gelap gulita, mendinginkan suasana. Mengikuti kemana awan tipis yang terlihat samar di atas kepala tertiup, diajaknya tubuh untuk berdiri. Ia menunduk. Memalingkan wajah sekali lewat demi menelusuri raut yang sepenuhnya terhalang oleh malam. Desah tanpa membuka mulut terbang terbawa angin.
"Bukankah sekarang sudah waktunya untuk bermalam?"
Menarik ujung dua tali sepatu yang sebenarnya terikat kencang, Rio menembus pedestrian lenggang malam itu. Disusul pula oleh bayangan redup yang mengekori.
🎭🎭🎭
Pembahasan sebelumnya senantiasa menculik keberanian untuk mengungkit topik-topik lain. Tak segan, kekakuan diisi oleh napas stabil yang belum lagi berhenti. Memangkas separuh lebih perjalanan menuju rumah masing-masing, sepatu kets Rio tertahan pada balok-balok beton di bawah kaki.
"Ada perlu sesuatu saat ini?" Dijamahinya tubuh perempuan dalam lirikan.
Merdu suara yang sedikit parau karena lama tak bicara mengetuk malam sunyi. "Kita di sini saja. Sudah terlalu malam dan larut untuk ke rumah."
Di sini saja?
Pemuda itu memandangi sekitar. Bangunan beberapa lantai tepat di sebelah mereka terapit oleh minimarket dan toko buah. Lengkap pula terpampang papan lampu berbintang tiga berisikan identitas gedung. Hotel Amerta. Kilat, kerjapan mata bergerak kembali memastikan ke arah Ify.
"Hah? Tiba-tiba? Kamu‒"
Cubitan pelan di lengan baju memupuskan kalimat. Juga angin semilir yang membuka rambut di sekitar wajah tertunduk Ify membuatnya tanpa sadar berpaling durja. Menghela napas. Jika demikian, alamat Rio tidak bisa menolak.
"Baiklah, ayo."
Hawa segar menguar dari ruangan lobi yang terkesan bersih. Bangku tunggu di sana terisi satu-dua, menyebabkan Rio tidak dapat dengan leluasa menengadah. Dengan panjang rambut yang ia punya, kepala Rio bersembunyi baik-baik. Berusaha mengikuti gadis di samping tanpa terlihat mencolok oleh orang lain.
"Biar aku yang urus."
Masih sama, gadis itu berbicara seolah membawa pikiran berat untuk dirinya sendiri. Rio membiarkan Ify melewatinya beberapa langkah, menuju meja panjang resepsionis.
"Permisi, saya ingin memesan kamar untuk satu malam saja," buka Ify pelan.
Seorang dengan cepol rendah menyambut. "Dengan Hotel Amerta, atas nama siapa?"
"Ifiana."
Sekilas perempuan di balik areal resepsionis mengangkat pandang. Namun memilih tersenyum tanpa berkomentar lebih ketika mendapati raut tak beriak milik Ify. "Baik, ingin menginap untuk berapa orang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...