Bagian ini mengandung konten sensitif. Jadilah pembaca yang bijak, ya!
🎭🎭🎭
Prang!
Kaca-kaca pecah berhamburan ditinggalkan dalam ceruk dinding di pinggir ruangan. Suara berat terkelepai di langit-langit rumah. Samar-samar diredam oleh derit engsel jendela yang ditutup, lenyap dalam senyap.
"Sudah saatnya."
🎭🎭🎭
Hawa dingin menembus gorden kayu yang tertutup rapat di sudut ruangan. Atmosfer teduh dari rintik hujan yang jatuh di luar jendela berkontradiksi dengan suasana rumah satu lantai itu.
Tidak ada yang janggal dari kenyataan Deva mendiami ruangannya sendiri hingga hampir tengah hari. Tapi apa harus lelaki itu berubah tampak gundah semenjak kehadirannya di sana? Apa dikarenakan kesenjangan mereka beberapa hari lalu yang belum surut? Apa benar beberapa hari itu membungkam hangat hanya karena tak saling bertukar kata sedikit pun?
Ketika tiba hari di mana raganya sendiri yang memampiri Deva untuk kembali memperbaiki, Deva seakan berbeda di matanya.
Gelisah terpancar dari setiap warna aura Deva. Berulang kali ia merisik seisi kantung jas lab. Mencari entah apa di dalam letak yang sama.
"Cari apa?"
Tarikan napas sang pemuda tersendat. Terhenti dari kegiatan mula-mula karena suara seorang perempuan, dibalikkannya tubuh yang dari tadi menghadap berkas-berkas acak di sudut meja kerja.
Dehaman singkat disertai beberapa gumaman yang kurang vokal Deva layangkan seolah tingkahnya tak berubah dari biasa.
"May I ask you a question?"
"Sure," jawabnya cepat sembari menelan air liur.
Tatapan datar perempuan di sampingnya tak bisa dipungkiri. Namun, bibirnya masih berusaha menggambarkan sebuah senyum.
"Kamu kenapa, hm?"
"Hah? Gak apa?" Nada bicara Deva malah bertanya balik.
Bola mata bulat menyoroti gerakan jemari Deva yang berulang kali menepak garis samping celananya.
Gak mungkin gak apa.
Ditelan kebisuan, Deva mengikuti arah pandang Agnesca yang kini bersedekap. Bertumpu pada bagian dari dirinya, segera Deva mengepalkan telapak tangan. Menghentikan kebiasaannya itu sebelum Agnesca mengulik lebih lanjut.
"Ah, maksudnya, gak usah kamu pikirkan. Aku biasa aja, kok."
"Jangan bertingkah aneh lalu seolah menyuruhku melupakannya semudah itu, Dev."
"Bisa ulangi bagian terakhirnya? Namaku jadi indah banget dari mulut kamu."
Jelas-jelas ia terkekeh gugup. Kepala Devara tak henti berpaling ke segala sisi sebelum akhirnya selalu terpaku pada Agnesca.
"Hm?"
Permukaan bibirnya mengering dijilatinya sekali lewat. Segala perasaan yang tengah beradu dalam diri membawa langkahnya terangkat menuju gadis itu. Belum melakukan banyak hal ketika sempurna berjarak tipis dari Agnesca, sorot mata Deva berubah dalam.
Pesona anak lelaki itu berhasil membius Agnesca. Respons tubuhnya terkunci oleh sang sosok tampan. Belum lagi dengan sensasi basah yang menempel di sela bibir bawahnya.
Intens. Mengacaukan. Memabukkan.
Detik itu, perlahan Agnesca merasakan buaian yang membuatnya seperti menginginkan hal-hal yang lebih. Perihal di luar nalar yang selama ini tertahan di naluri batin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...