Tangan Ify meratakan tali tas yang merosot ke siku karena putaran tubuhnya. Rio berada beberapa langkah sebelum Ify. Menatap datar lorong kosong yang baru mereka lewati beberapa saat yang lalu.
Sesuatu mengasah gagasan di benak Rio. Repetisi suara samar yang sama dari dua belokan berturut-turut menimbulkan satu-dua rasa heran yang tak nyaman.
"Sesuatu tidak beres."
🎭🎭🎭
Ada banyak hal yang Ify belum bisa mengerti dari Rio. Mulai dari caranya membalaskan dendam hingga hal sesederhana alasannya meninggalkan rumah pagi-pagi buta.
Sengaja, hari Ify datang lebih awal, jauh lebih pagi sampai ia yakin Rio tak mungkin sudah keluar lebih pagi dari dia. Sekadar memastikan, Rio mungkin saja melakukan sesuatu yang mencurigakan, bukan? Jika benar, Ify harus berhati-hati, 'kan?
Bibirnya tersungging. Daun pintu terbuka itu menampakkan Rio yang agak linglung.
Diratakannya tepi bawah sweater menutupi batas pinggang. "Apa."
Tidak, Rio memang tidak membubuhkan intonasi bertanya dalam sapaannya. Bahkan kakinya serta-merta melewati gadis itu.
"Apa?" Sandaran tulang Ify di balkon ruko terlepas. Melipir ikut mendampingi Rio.
"Sudah siap berburu matahari terbit?" godanya sedatar mungkin.
"Sudah, sudah."
Kepalang tanggung, Rio memilih berserah. Lagi pun Ifiana bukan ancaman jika mengetahui informasi baru tentangnya, setidaknya sampai saat ini.
"Indah?"
"Entahlah, tidak lihat. Yang pasti yang biasa aku lihat, jam segini orang-orang kota tidak menyebalkan."
"Menyebalkan?"
Jemarinya menepis noda pasir yang melekat di sepatu kets.
"Maksudku, mereka agak bersahabat. Rasanya seperti lebih menjadi manusia saja jika kota sedang sepi."
Jarang-jarang diksi Rio terkesan sendu. Dalam raut Rio, Ify membaca sesuatu yang membuatnya mencelos.
Anak ini sulit sekali berdamai dengan orang-orang yang mencelanya melalui tatapan. Being infamous is definitely a trouble for him.
"Apa?" Kata yang berasal dari objek pandangnya, kali ini sungguhan bertanda tanya, menyeret Ify kembali ke alam sadar.
Ia mempertahankan senyum. Mencoba mencairkan efek samping dari keseriusan Rio sebelumnya.
"Kamu memang manusia, tahu."
Tubuh atas pemuda itu bergetar. Menyulap suram yang terbersit menjadi tawa yang cukup rileks.
"Jadi, manusia," ulang Ify jenaka, "subuh-subuh seperti ini, apa yang kamu lakukan sebenarnya?"
"Kubilang tadi, 'kan? Menjadi manusia. Jalan-jalan dengan bebas, makan, dan lihat-lihat sekitar."
Seolah menangkap sugesti untuk mengelilingkan mata, Ify terkesima.
Menakjubkan.
Setiap sudut kota kelahirannya itu tampak amat berbeda saat ini. Tiga-empat mobil membelah kesunyian, bahkan jarak pandangnya sampai bisa melihat persimpangan yang letaknya cukup jauh dari posisi.
Sisi tenang metrapolitan, sisi yang lebih baik, dunia yang seakan baru bagi Ify.
Semenjak dulu masih bekerja, fajar adalah waktu istirahatnya yang berharga di tengah padatnya jadwal. Kalaupun mengharuskan dirinya pergi dari rumah, Ify memilih memejamkan mata kembali selama perjalanan dalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...