Dehaman padat berasal dari tenggorokan Ivanka. "Kita akan menarik benang merah dari simpulan itu. Sayangnya, pembicaraan ini memerlukan suasana yang lebih privat. Kamu juga harus memulihkan diri terlebih dahulu."
"Bisa aku minta bantuanmu, Ifiana? Kita bisa saling menjaga komunikasi satu sama lain sepanjang kasus ini sedang diusut."
Rio dan Ify bertukar senyum penuh arti. Memelesat harapan ke udara di celah-celah perasaan yang menggelitik. Tatapan resah luput dari sana. Entah apa yang Rio pikirkan saat ini, ia jelas memilih abai. Perasaan kebingungan, kegugupan, dan rasa senang melayangkan laju asa semakin tinggi.
Pemuda itu bukan peramal hebat. Namun lubuk hatinya mendoakan apa-apa yang akan terjadi di langkah depan sana, semoga merajut jawaban dari penantian atas segala hal yang tertapak di masa lalunya. Semoga ... segalanya akan segera baik-baik saja.
🎭🎭🎭
Sesekali, pemuda itu memaksa rambut panjangnya tersangkut di lekuk telinga. Setelah total satu hari dua malam bersemayam di rumah sakit, dirinya cukup lega dapat kembali terbangun di tempatnya sendiri. Rio jadi sedikit terkagum dengan para gadis, sebut saja Ivanka dan Ify, yang secara ajaib mendapatkan izin permohonan untuk meninggalkan rumah sakit lebih cepat dari jadwal. Untuk hitungan kecelakaan-karena-benda-tajam-di-abdomenmu tidak banyak yang bisa melakukan semudah mereka. Alasan apa pun yang keduanya pakai, yang jelas ia bersyukur identitas dan kebebasannya terjaga dalam sekali waktu.
Kicau burung menemani udara pagi yang cukup damai hari ini. Setidaknya tidak membakar ubun-ubun apa bila dijalani tanpa kendaraan. Menyembulkan kepala dari celah pintu yang ia buka, seorang gadis‒seperti yang sudah-sudah, hingga ia sendiri bosan menuturkan‒siap sedia berada di tempat.
Alas terbawah pintu yang bersentuhan dengan lantai kasar berderik. Meniadakan rongga masuk ke rumah. "Ayo pergi. Hari ini seharusnya Ivanka menunggu di rumahmu, 'kan?"
Bola mata legam yang tampak berkilau karena mentari pagi bergeming saja. Datar mengabaikannya, malah berpaku ke benda di genggaman.
"Sesuai diskusi terakhir di rumah sakit itu, seharusnya iya. Sangat disayangkan, Ivanka tidak bisa datang hari ini. Ada pertemuan bersama dewan KLFI. Sudah meminta maaf juga lewat pesan pagi-pagi sekali."
Kedipan layar sungguhan merentetkan pernyataan formal dari perempuan yang dibahas. Disusul kelipan netra yang setengah menerima, tubuh itu luluh. Menyematkan langkah menuju kediamannya sendiri.
Didorongnya daun pintu hingga menganga. "Hm, baik, baik. Kalau begitu bagaimana? Masuk dulu saja?"
Gestur bibir lentur Ify mengucap terima kasih sembari mendiami ruangan yang telah begitu nyaman ia hidu sepanjang masa-masa bersama Rio.
"Minum?"
"Em? Tidak, terima kasih."
Gema mengerayangi petak ruangan yang tak begitu luas.
Tidak ada buku di tangannya. Tidak juga menenggak sesuatu untuk menghabiskan waktu pagi ini. Gesekan ruas-ruas jari Rio yang saling temu menimbulkan desas-desus kecil, membunuh kecangguan.
"Apa yang kita tunggu sebenarnya?" tanya Rio akhirnya tepat ketika Ify bergumam pendek, "nah."
Ting.
Sahut-menyahut denyut notifikasi dari ponsel gadis itu membuat Ify segera meraih ponsel. Papan ketik dari sarana komunikasinya bergemeletuk seiring ibu jari mengeja huruf demi huruf.
"Pesan, kah? Apa Ivanka?"
Cukup Ify menjawab melalui gerak kepala. Menyambung menyuarakan isi kepalanya. "Yo, tak masalah jika kita berjalan ke arah yang berbeda hari ini, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...