Bibir gadis tunggal keluarga Tanuarja membentuk garis lurus. Sengaja melarang diri menjadi orang pertama yang bercakap dalam jaringan. Sosok di seberang sana juga tak kunjung mengirim respons.
Mengukuhkan dua menit dalam prisip berdiamnya, penantian terbalaskan. Tepat tiga menit, sebuah suara menggetarkan fuad. Berhasil memaku hak sepatunya di tempat yang sama hanya dalam satu kali sabda bernotasi rendah.
"Ah, sayang sekali. Meski kamu diam, aku masih yakin kamu dengar suara aku, Ifiana."
🎭🎭🎭
Pemandangan yang serupa tersuguh hampir setiap pagi sejak Rio mengenal Ify. Ketika pintu tempat tinggalnya terbuka, gadis itu adalah orang pertama yang akan ia lihat.
Alih-alih langsung menuju ke dalam, Ify ternyata sedang tidak mudah terusik. Begitu asik menunduk mengamati layar sentuh sebagai ganti buku fisik yang judulnya biasa berubah-ubah.
Rio memiringkan tubuh ketika berada di belakang Ify. Mengintip dari balik telinga. Rentetan nama super pendek di bar kontak tanpa sengaja terbaca olehnya.
Mr. B
Kode untuk siapa itu? Rekan kerjanya? Pacar simpanan Ify kah? Isi kotak pikir Rio seketika dipenuhi tanda tanya.
"Publik figur masih pakai SMS?"
Bahu Ify terjengkit, dengan cepat menutup lembar perpesanan. Dibalikkannya tubuh langsing itu menuju Rio.
"Pagi ini aku ada urusan. Jadi, kamu lakukan apa pun itu sendiri dulu." Ia membasahi bibir keringnya. "Aku cuma mau kasih tau itu."
"Tiba-tiba sekali," komentar Rio.
"Namanya hidup mana bisa diduga-duga."
Mengendikkan bahu, Rio memberi jarak antara keduanya. "Gak salah juga."
Ia melanjutkan, "apa akan lama?"
"Gak. Sama sekali gak akan." Kalimat itu tandas setelah dibubuhi intonasi malas Ify.
"Paling-paling jika udah selesai, aku ke sini. Itu pun lihat keadaannya bagaimana."
Tidak banyak yang Rio lakukan selain mengiakan.
"Aku pergi."
Deham singkat dari Rio bahkan tidak dihiraukan. Perempuan yang berpenampilan lebih modis hari ini itu telanjur bergegas melenggang dari hadapan.
Ditunggunya Ify hilang ke balik belokan tangga turun. Gerakan Rio mengunci daun pintu ruko cukup lambat.
Sejak menerima telepon asing kemarin, Ify seperti mengembani beban pikiran baru. Aneh saja. Ini perasaan Rio saja atau kenyataannya demikian?
🎭🎭🎭
Jujur, jika bukan karena terpaksa, Ify mana sudi menginjak gedung ini. Percaya bahwa instansi tempatnya berdiri sekarang masih eksis hingga sekarang saja tidak ada di daftarnya. Apalagi bertatap muka dengan pria–yang sialnya–masih hidup itu.
"Selamat datang kembali!"
Seruan itu menegakkan rambut halus di sekujur kulit Ify. Bukan karena menyeramkan, lebih tepatnya menjijikkan.
"Tuan Bagaskara, perlu diingat saya tidak akan ada di sini bila tidak dipaksa."
Pria berjanggut tipis itu tidak tersinggung.
"Masih tidak bisa melupakan masalah itu? Oh, ayolah. Itu sudah lama sekali." Disematkannya kedipan sebelah mata ke arah Ify.
Ya, lama. Anda hanya beruntung karena saya masih terlalu lugu waktu itu. Sebagian jiwa Ify meronta tidak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...