22 - Butterfly Hug

267 43 78
                                    

Rona kulit pipinya memburas. Perubahan tempo degup jantung membersamai di detik-detik Rio berikutnya.

"Kamu tau artinya?"

Isyarat kepala Rio bergoyang lambat ke kiri dan kanan. Tapi relung hatinya dalam setengah ragu mengiyakan.

Perasaannya yang mendadak gundah sejak kedatangan Ify dan pembicaraannya dengan Agnesca yang tiba-tiba membahas mereka. Padahal Rio rasa akan lebih berarti jika waktu-waktu ini digunakan membahas banyak kenangan menyenangkan tentang Deva. Rio mengesah, masih berusaha memahami.

"Perasaan apa ini? Apa ini artinya mencintai seseorang? Ini merepotkan."

🎭🎭🎭

Matahari siang yang masih membara di tengah ubun-ubun menghantarkan laju lamban pemuda dengan sejuta kosa kata di dalam benak. Seorang diri meninggalkan Berry Pretty, bahkan raga pemuda itu nampak tak terisi seutuhnya oleh nurani. Beberapa kata dari Agnesca sebelum melepasnya berpamitan mengurung diri dalam gundah.

"Saat kamu mengerti maksudku, coba peganglah kuat-kuat perasaanmu itu. Jika kamu membuatnya sedih, aku akan benar-benar berhenti mendukungmu."

Segaris mata indah Agnesca membentuk sabitan di wajah, diiringi senyum yang sama cantiknya. Lengan tanpa kerut gadis itu bergantung di dinding eksterior Berry Pretty.

Durja anak Kilimanjana melempem. Ingin mengira latar belakang seperti apa yang membawa Agnesca mengatakan hal tersebut pada hatinya yang tidak terlalu memahami. Terlalu kentarakah bahwa dia begitu naïf dalam 'hal ini'?

"Hm? Ag?"

Relief tembok tertelusuri seutuhnya. Sontak menggeleng sembari sepintas menundukkan kepala menghindari tatapan dengan lawan bicara. Berakhir mengusap lingkar aksen kancing di tepi bawah plum chiffon shirt yang membungkus tubuhnya.

"Yang tadi jangan dipikirin kalau memang ganggu. Itu hanya pemikiranku aja."

Sekelebat dialog gemar menyabangi kepala buntunya. Rio tidak mau memikirkan sesuatu yang minim relevansinya dengan kehidupan seperti pembahasan lampau itu. Namun, bukankah sudah lumrahnya manusia akan memantik rasa ingin tahu dari semesta bawah sadar ketika berbicara tentang sesuatu yang paling tidak diinginkan? Ketika tidak dalam konteks mengharapkan sesuatu?

"Seperti Deva dan Agnesca? Mana mungkin aku mencin ...," ia menghirup napas dalam-dalam, "entahlah. Aku tidak mengerti."

Sedang tidak menjadi dirinya sendiri, ia menyilangkan tangan ke belakang tengkuk. Dilangkahkannya juntai anggota gerak penuh ketidakyakinan. Intuisi, Rio sepakat dengan batinnya untuk menggunakan kekuatan cadangannya itu kali ini. Sesuatu di dalam dada yang bisa menentukan arah tujuannya sekarang.

Paling tidak, dibanding berdiam diri, Rio putuskan mencoba melakukan apa yang sekiranya memang harus ia lakukan selepas pertemuan singkat di rumah Agnesca.

🎭🎭🎭

Pukul tiga kurang lima. Sepoi angin tanggung membelai wajah Rio yang mendongak ke awan vertikal di atap bergaya milik sebuah bangunan. Terik si raja angkasa lumayan mereda semenjak perjalanan. Menyisakan sensasi sumber silau yang menghujam ke kulit kering Rio.

Teronggok bagai pancang berkarat yang tertancap tegak, laki-laki berambut setengah panjang sekadar melangkah di pekarangan, tepat selangkah lagi memijak ubin selasar rumah. Berpikir serta bergerak pelan untuk sekadar mengetuk pintu.

Ruang kosong dari pembatas rumah ternganga. Sudut bibir Rio tertarik. Meski sekali lalu saja, bau serta aura tuan rumah tempatnya bertandang memasuki sensorinya.

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang