Tangan kanan Agnesca perlahan terentang maju. Bayangan lima jemarinya yang melebar terefleksi di telaga wajah, menghalangi atensi dari sekian banyak objek lain yang bebas ia pandangi. Telapak terbuka gadis itu tergantikan oleh kepalan yang meraih hampa. Raut wajah Agnesca selaras dengan lemahnya kepalan yang terjatuh ke permukaan paha.
"Luka dari kepergian bukan hanya tentang kehilangan seseorang, tapi juga ketika kamu tidak bisa mengenal mereka lebih jauh. Tidak bisa lagi menggapai mereka seperti biasa. Perbedaan, itu masalahnya."
Cahaya di sekitar foto yang kembali Agnesca tilik membeku. Wajah Deva menjadi satu-satunya hal yang terlihat berwarna di mata gadis itu.
Tapi terkadang, kita harus tetap menjalani perbedaan itu, ya?
Diambilnya napas dalam-dalam. Dia sedikit menerbitkan senyum kaku pada pemuda yang sedari tadi betah mendengarkan curahan hatinya. Jentik kuku Agnesca samar-samar mematahkan kesunyian.
"Em, Yo. Aku belum minta maaf yang benar sama kamu."
Garis halus timbul di dahi Rio. Tidak menangkap keseluruhan di balik seloroh Agnesca. "Maaf?"
Kepala Agnesca hampir sepenuhnya tenggelam dalam tundukan. Digaruknya berulang area leher. Rio di hadapannya tampak begitu ringan, membuatnya merasa berat hati karena pernah melimpahkan segala perasaan yang tumbuh tidak beraturan atas nama pemuda itu. Di luar sepengetahuan Rio, bahkan di luar tanggung jawab Rio.
"Maaf atas sikapku saat kita bertemu lagi pertama kali. Kamu tahu? Aku gak sepenuhnya benci sama kamu. Hanya saja ... "
Sekuat tenaga ikatan-ikatan di kepala Agnesca berusaha ia luruskan. Namun, tak satu pun mampu menjabarkan sesuatu yang tertahan di lidah. Jawaban yang telah ia siapkan untuk melanjutkan sebenarnya tidak akan pernah valid, sehingga sulit untuk terkatakan.
"Deva, 'kan?"
Kedipan Agnesca berkelepak cepat dan rapat. Sungguh, lihatlah. Laki-laki itu rupanya mengetahui alasannya tanpa ia bicara. Lantas mengapakah laki-laki itu tak pernah murka? Tak pernah segan menemuinya? Tak pernah menyulut api pada bara amarah yang selalu ia awali?
Patah-patah, ia menengadah. Cerahnya raut Rio menyebabkan ekspresinya mengeras, yang mana terasa amat kontradiktif dengan arahan pembicaraan laki-laki itu.
Diangkatnya lipatan kesepuluh jari kasarnya, menumpu dagu dengan telapak yang terbuka. "Harusnya kamu gak perlu khawatir. Aku gak ada 'hubungan spesial' apalagi untuk merebut Deva dari kamu."
Memundurkan diri hingga membentur tegakan kursi, sepasang telunjuk teracung kemudian tertekuk separuh. Mengutip dua kata yang dibacakannya dengan nada jenaka. Melayangkan canda yang ia harap mencairkan Agnesca yang‒ia rasa‒terpengaruh oleh murungnya pemikiran sendiri.
Gesekan sol sepatu model mules halus menyentuh ubin yang memanas karena mentari. Sosok itu tak ingin berada lebih lama di salah satu anak tangga pendek sebelum pintu utama Berry Pretty. Pun tidak ingin juga terlihat 'mencurigakan' dengan pergi begitu saja setelah berdiri di tempat yang sama selama kurang lebih sepuluh menit.
Inisiasi yang tebersit pagi ini belum jua dapat ia wujudkan. Sedianya, Ify bermaksud masuk menemui Agnesca setelah menunggu Rio‒yang kebetulan datang di saat yang sama‒telah selesai. Sekedar lagi-lagi mencoba berteman baik dengan gadis itu. Ya, sebelum ternyata ia harus menunggu sedikit lebih lama dari perkiraan, mendapati apa yang ia lihat saat ini.
Dia gadis yang dapat bangkit dan sekarang menjadi sekuat ia dulu, bahkan bukan tidak mungkin lebih kuat dari semula. Itu hal baik tapi ...
Ify menyerongkan tubuh ketika beberapa pekerja berseragam melewatinya membawa beberapa pot-pot berisikan semak muda stroberi. Otaknya seakan membentuk fraksi yang memetakan suara hatinya yang rumpang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...