32 - Lapisan Terdalam

255 26 107
                                    

Satu lengan keras menariknya jatuh dalam rengkuhan. Separuh kata-katanya pergi bersama tubuh lemas yang menumpahkan gejolak perih.  “Terima kasih, terima kasih udah baik sekali sama aku.” 

Kecupan bibir sang pemuda terasa hangat, bertahan lama di dahi Ify. Dalam resahnya gelap yang mengerayangi pejam mata, keduanya memadukan renjana.

Baik Rio maupun Ify tidak lagi ingin menafikan afeksi yang menggebu dalam diri. Lagipula hanya Tuhan yang tahu, jiwa-jiwa yang terluka seperti mereka perlu tempat untuk bernaung. Tuhan juga tahu, keduanya telah belajar mengeratkan pelukan yang patah sebagai cara menemukan rumah paling nyaman.

🎭🎭🎭

Dua pekan kemarin, tidak terlalu banyak hal yang berganti. Namun terhitung genap 14 hari nyawanya dalam tempat yang sama, sekilas rutinitasnya sedikit tergoyahkan.

Berisik dari beberapa kunci dalam satu ring menyapa pintu besi di hadapan pemuda itu. Muka pintu sempurna menganga. Kerutan halus terpatri di dahi. Kedua alis terangkat ingin tahu.

"2410, ada yang datang membesuk."

Ah. Rupanya.

Penghuni sel itu mengangguk sopan. Benaknya mulai dapat menerka dengan cepat. "Terima kasih."

Menuju ruang besuk, seorang gadis tidak menyembunyikan dua raut kontradiktif dari dirinya. Iris gelap itu menyiratkan antara rindu dan khawatir.

"Hai."

Menengadah, Ifiana menjadi sosok yang menyambut sapaan lembut tersebut. Empat digit nomor registrasi yang ia kenali menempel di dada kanan pakaian oranyenya. Kini duduk empat mata berseberangan.

Laki-laki itu masih tampak baik-baik saja. Ify tidak tahu apa yang lebih baik dari itu.

"Rambut kamu?"

Spontan, disentuhnya rambut pendeknya yang baru saja menyita perhatian gadis itu.

"Dicukur oleh salah satu staf penjaga. SOP* rumah tahanan." Kekehan terdengar sembari tubuh belakangnya sempurna mendarat di dasar bangku.

Telunjuknya mengusap tanda yang kentara di balik daun telinga. "Lagi pula ini bukan masalah besar di tempat begini."

Rio tidak kelihatan buruk dengan rambut barunya.

Dibanding melempar tawa pada guyonan tersebut, seutas senyum gugup tertampil di raut Ify.

Berdeham, gadis itu menatap dalam. "Maaf baru bisa lihat kamu hari ini."

"Banyak yang harus diurus, bukan? Tenanglah, aku tidak apa."

Jujur Ify tetap sungkan, namun membaca sepertinya sang lelaki benar-benar seperti yang dikatakan, ia mencoba tidak merusak suasana.

"Riel. Kabarnya terakhir dia belum juga didakwa, ya?"

Rambut lurus jatuh menutupi wajah. "Begitulah. Status sementaranya praduga tak bersalah."

Ya, mau dikatakan apa lagi. Nasibnya punya kekuasaan yang lebih rendah dari Riel. Kepercayaan khalayak turut ikut campur pada perilaku yang akan diterima, bukan?

"Em, jadi bagaimana, Fy?" Susunan frasa itu rumpang, untung saja masih bisa ditangkap oleh Ify.

"Kami masih mengusahakan yang terbaik soal pengajuan kasasi." Suara Ify bertambah yakin. "Ivanka tidak bisa ke sini. Ada akses yang harus dia urus untuk melancarkan pencarian bukti."

Mata gadis itu menyabit. Berusaha membangkitkan optimismenya di depan sang korban. "Kau tahu? Rencananya Ivanka sedang merancang jadwal untuk interogasi seseorang yang vital di kasus ini."

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang