Ingin rasanya Agnesca kembali berkomentar, belum ingin kalah begitu saja. Namun, tubuhnya terhuyung pelan ke sisi Deva.
Mengaitkan tangan di pinggang langsing, Deva menyandangkan tas Agnesca bersamanya. Memutuskan mengurai kusut yang belum terlalu larut ini sebelum nantinya menimbulkan masalah baru.
"Kita pulang sekarang, oke?"
🎭🎭🎭
Tepisan angin melewati Deva yang menutup pintu rumah tanpa menggemboknya. Seseorang yang baru saja melaluinya tidak menunjukkan raut gembira.
Knop kuncian ruangan yang Deva tinggal terakhir kali berputar, bersamaan daun pintu yang terdorong sepasang bahu lancip.
"Setelah dengar pendapat Rio yang berhasil menebak pekerjaanmu, bagaimana?"
"Gak gimana-gimana." Ditariknya napas, lalu membuangnya dengan kasar. Sedikit terlalu keras sampai-sampai Deva langsung melihat ke arahnya.
"Kamu gak ada rasa ingin tahu tentang Rio gitu?"
"Gak juga." Agnesca memalingkan wajah. "Kenapa kita harus bahas dia?"
"Nothing's wrong dengan pembahasan teman lama." Gestur Deva yang bersandar santai menghadapnya membuat sang gadis menghela tanpa suara.
Bukan soal salah atau benarnya. Dominasi nama orang lain–terutama Rio–dalam konversasi sehari-hari mereka membuat Agnesca mulai muak. Sebelum bertemu langsung saja hal-hal terkait Rio selalu diungkit, lalu bagaimana dengan sekarang setelah bertatap muka?
Keresahan yang tumbuh di dalam benak Agnesca sulit untuk ia cegah.
Dibanding mengenal dan membicarakan hal-hal yang menyenangkan tentang mereka berdua, kebersamaan keduanya terenggut oleh bayang-bayang orang lain. Kemana pembicaraan ringan tentang hubungan mereka? Atau prestasi, pencapaian, serta kesuksesan Devara?
Ujung kutikula Agnesca menggosok kancing kemeja. Aku gak mungkin bilang begitu ke kamu, 'kan? Agak disayangkan, kamu masih gak bisa membaca semua itu sampai sekarang.
"Yang ada di sini hanya kita berdua. Kita bisa bahas hal yang lebih dekat dengan kita berdua. Jadi singkirkan jauh-jauh masalah Rio. Would you?"
Pundak berundak Deva merosot lemah. Meski sering menghabiskan waktu bersama, dia masih belum seratus persen tahu alasan Agnesca menghindari persoalan ini.
"Lagi-lagi begini." Ya, terserahlah. "Toh, aku percaya kamu dan dia gak akan saling usik."
Dibiarkannya bibir ranumnya terjahit oleh bisik pemuda itu. Seakan-akan tidak mendengar.
"Ini bukan karena Rio atau semacamnya, tapi … kamu gak berniat untuk berhenti dari bisnismu yang sekarang?" Lirikan matanya penuh. Berharap tidak memancing Agnesca merasa risih pada topik yang ia buka.
Gelengan sang gadis dilengkapi sungging miris. "Ini untuk bertahan hidup, 'kan?"
Sebelum melontarkan tanya, Agnesca memindai Deva yang begitu tenang.
"Kamu sendiri ngomong seperti 'orang benar', tapi kenapa betah masuk di duniaku?"
Gumam Agnesca itu untuk memuaskan keluhan saja, sebenarnya. Pun alasannya sudah terang laksana bintang di langit.
"Setidaknya, racun dari tumbuhan beracun mana pun punya masa reaktif yang pasti, sampai akhirnya yang mencobanya meninggal." Pandangannya menelisik ke jari-jemari yang bermain di permukaan paha.
"Menjalani hidup tanpa tahu kapan dan kenapa kita mati, rasanya sedikit menakutkan."
Deg.
"Sesuatu yang tiba-tiba, ya …. " Benang kusut di kepala Agnesca tersimpul erat. Tatapan gelisah menuju ke arah yang seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...