19 - Wither and Decay

271 44 97
                                    

Sekadar membaca punggung Agnesca yang membelakangi, serta siluet tubuh lain yang terlihat sedikit-sedikit di balik peluk, Rio mengepal telapak. Sementara Ifiana menutup mulut dengan kedua tangan.

Seharusnya ini gak terjadi. Seharusnya, aku bisa cegah Deva bertindak segila ini. Bodoh!

"Deva!"

Berada di sisi kosong terdekat Deva, Rio berjongkok lemas. Siku lengan yang hendak ia angkat menyentuh Deva terasa berat. Pada akhirnya, dia tak melakukan apa pun. Repetisi sedu sedan Agnesca yang sampai membisu membungkam waktu di sekeliling ruang. Manusia-manusia itu larut mencerna dalam garisan takdir yang berjalan terlalu tiba-tiba.

Sosok Angga Devara yang pernah mewarnai hari-hari lampau mereka kali ini bukan hanya menyerahkan hati, namun juga menyerahkan diri.

🎭🎭🎭

Gemuruh mengepul di atas cakrawala. Awan yang hampir menghitam mengepung biru langit, begitu pula hati-hati yang tengah berkumpul dengan perasaan kelabu. Semua orang tampak tepekur, masih larut dalam elegi yang baru saja selesai berkumandang antara mereka. Satu per satu memutar punggung dari sebuah batu yang tertancap kokoh di tepian terdepan, yang serta-merta meruntuhkan kebahagiaan hanya dengan nama dan deretan tanggal yang tertera di sana.

Terusan serba hitam yang ia kenakan perlahan dihiasi rintik yang terjatuh dari langit. Kacamata hitam yang menutupi dua manik sayu Ifiana menggantung di kantung tas kecil. Tanpa menyadari kepergian seluruh pengunjung sebelumnya, diposisikan diri berjongkok sejajar dengan satu-satunya gadis yang tersisa selain dirinya.

"Saat kamu sudah merasa lebih baik, kita pulang, ya?"

Tidak ada yang lebih buruk saat ini. Tidak ada yang dapat Ify lakukan juga selain hanya tetap bersama Agnesca di sini, berusaha menyalurkan kekuatan tanpa mengatakan apa pun yang justru akan semakin melukai gadis itu. Tubuhnya gemetaran membuka payung yang ia bawa. Kulitnya tak sengaja sekilas menyentuh tangan Agnesca yang kehilangan rona. Memayungi tubuh mereka yang sebenarnya telah terguyur hujan, Ify membiarkan Agnesca mengambil sebanyak apa pun waktu untuk menenangkan kemelut dari kepergiaan sosok pemuda yang paling ia sayangi seumur hidup.

Sepasang mata menatap kosong setiap kejadian yang berlalu dari kejauhan. Dadanya teriris. Miris, dia bahkan tidak dapat mengantarkan satu-satunya teman terbaik yang ia miliki semasa hidupnya di saat terakhirnya.

Tidakkah dunia terlalu kejam buatku?

Rio mengabaikan bekas-bekas lecet yang bertambah tiap kali sidik jemarinya ia gesekkan kuat-kuat ke serat-serat batang kayu tua di sekitar area pemakaman. Apa yang menyapa gendang telinga dan bola matanya mengambil seluruh rasa menyakitkan yang seharusnya ia rasakan di ujung kuku yang berdarah.

Seluruh tubuh bagian atas Agnesca nyaris terhuyung dan terantuk ke batu nisan di hadapannya jika saja Ify tidak dengan sigap menahan tubuh bak daging tanpa nyawa itu. Bajunya dipenuhi tanah. Lambat, dengan sisa tenaga, ia melepaskan seluruh rasa yang ia pendam dalam bungkam sedari tadi.

Lengking tangis pilu gadis itu menggema. Tangannya mencengram erat gundukan tanah penuh bunga. Terisak sesak semakin hebat saat Ify mengusap bahunya.

"Lepaskan aja. Jangan ada yang tertahan di dalam hatimu."

Dan, hei. Apa yang ia lakukan sekarang? Decakan pelan lolos dari bibir Rio. Ingin sekali rasanya berlari ke sana, memberi peluk untuk dua gadis di depan kubur itu. Sayangnya, ia tidak bisa memilih. Menampakkan keberadaan di ruang terbuka bukan sesuatu yang bisa ia lakukan sesuka hati. Lagi pula, bukankah cukup melihat wajahnya saja pasti akan membuat Agnesca semakin teringat pada Deva?

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang