9 - Lights, Camera, Action

304 63 113
                                    

Brak!

Sontak atensi teralih ke sumber suara.

Daun pintu yang tepat lurus dengan arah Bagaskara ternganga. Menampilkan dua anak buah Bagaskara yang berdiri kaku, disusul dengan sekumpulan manusia berlencana kepolisian.

Rio menegang di tempat. Wajahnya memucat.

Ia harus apa?!

Sementara para dewasa muda tertegun dalam pikiran sendiri, sang paruh baya mulai bergerak bebas.

Sungging miring disertai paras sesumbar menodai penampilan Bagaskara. Laki-laki itu mengambil langkah besar-besar.

"Bapak-bapak ini memang pahlawan kota. Datang selalu di waktu yang pas."

Tampak bersahabat, tak ragu ia mengajukan salam sembari sedikit membungkukkan badan hormat. Kekehan menyebalkan kemudian lolos dari bibirnya. Para polisi tidak menggubrisnya.

Ya, tidak apa juga, batinnya remeh.

Dibanding mengurusi Bagaskara, seseorang dengan titel kepala kepolisian itu mengubah sudut wajah. Mempertahankan profesionalitas sembari menatap Ify.

Ify membuang napas. Akhirnya, kepala yang tak berani ia angkat itu bergerak naik-turun. Masih menyisakan beberapa titik ketakutan di dalam gerakannya.

"Dia, Pak. Dia orangnya."

Para polisi bergerak cepat. Arahan super pelan itu memicu mereka menyergap laki-laki yang mati kutu.

"Hei."

Otot-otot Rio kian menegang. Kondisi seperti ini sudah jauh melampaui akal sehatnya.

"Anda harus ikut kami."

"Tunggu– ada apa ini? Tindakan ini perlu penjelasan. Kenapa bisa main tangkap tiba-tiba seperti ini?"

Suara itu mulai menukik tajam. "Ifiana?!"

Tidak.

Itu bukan dari Rio.

"Tuan Bagaskara, Anda kami tahan atas kasus pelecehan terhadap saudari Larissa Ifiana. Bukti-bukti berupa rekaman suara telah diterima dan tersimpan pada kami."

Tidak sia-sia aku nyalakan waktu itu. Gadis itu menggenggam relief ponsel yang terjiplak di tas bawaannya.

Giliran Ify membungkukkan badan. "Terima kasih, Pak."

"How dare are you! Kamu itu terlibat di sini karena kamu sendiri! Kamu yang tunduk padaku."

Decakan tak suka dengan lancang ditujukan ke para polisi. "Lepaskan!"

Klak.
Borgol besi sempurna melingkari dua pergelangan tangan Bagaskara. Membuatnya meronta lagi dan lagi karena amarah.

"Yang seharusnya ditangkap itu dia! Dia buronan yang kalian cari selama ini!"

Tangannya yang terkunci ia gerakkan menunjuk Rio yang tampak lemas dan tak berjiwa.

"Tuan–"

"DENGARKAN AKU!!"

Lelaki itu menggeliat memberi perlawanan. Namun malah terlalu menguji emosi pihak kepolisian.

"Jangan memberontak. Ikut kami sekarang!"

"Kalian polisi bodoh!"

Bersamaan dengan gelegar makian Bagaskara yang menggema, rombongan menariknya pergi. Bunyi mobil yang membawa si lelaki tua berangsur hilang.

Dalam suasana ruang tanpa satu pun suara, Ify memutuskan beranjak. Pikirannya kacau, walau harus ia akui memang eksekusi itu berjalan semulus ekspektasi.

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang