Berperang dengan diri, kepalanya menengadah ke lantai atas yang seharusnya ia tuju. Di ujung tangga, siluet asing tampak menunggunya. Senyum keras dipersiapkan untuk menyongsong kepulangan Rio.
"Jadi kita akhirnya bisa bertemu di sini."
Tubuhnya terkunci di tempat.
Lekuk tubuh kegelapan yang Rio perhatikan mengubah cara berdiri. Tangan menantang yang berkacak sebelah di pinggang menyusul tangan yang lain ke dalam saku depan celana. Semburat warna di rambut dan kaus oblongnya terpancar seiring menuruni tangga.
Siapa dia?
Betah Rio diam di titik tengah bordres tangga. Hingga sosok yang ia yakini adalah seorang pemuda yang ditebaknya berusia tidak jauh di atas Ivanka itu meninggalkan undakan tangga terakhir, pandangan waspada kentara dalam kedataran yang Rio tampakkan.
Mereka hanya berdua, namun Rio bahkan tampak ragu melontarkan tanya dengan lisan. Alis sosok baru itu terangkat alis. "Karena kamu kelihatan kaget, biar aku tebak."
Masih mengantongi tangan dengan rileks, punggungnya menekuk saat wajah tampannya begitu dekat dengan Rio.
"Kamu sedikit banyak pasti mencari informasi tentang aku dan sedang merencanakan sesuatu dengan itu. Bagaimana? Apa benar?"
"Riel ... Kilimanjana?" Sebagian diri Rio belum menerima. Kesadarannya bak dihantam sesuatu di luar kapasitas.
"Kita berbagi nama belakang yang sama, 'kan?"
Geraman halus keluar dari bibir yang bergetar akan amarah. Sudikah Rio menyandang kata yang sama dengan pemuda yang, setelah ditelusuri oleh dia, Ivanka, dan Ify, memiliki campur tangan atas rusaknya hari-hari bahagianya? Yang menghancurkan keluarganya?
"Jadi kamu?!"
"Kenapa tidak? " Enteng lawannya menimpali.
Riel, manusia itu. Perlu sekian ratus kesabaran di aliran tubuh Rio agar tidak menghajar sosok yang benar-benar berada di depan kedua mata.
"Jika memang itu kamu, mengapa kamu datang menemuiku? Aku rasa kamu bukan orang yang gegabah."
"Tidak ada alasan terbaik untuk tidak melakukannya. Kamu pikir aku takut?" Raut picik Riel menjauh dari wajah Rio. "Lagipula jika gak hari ini, kita tetap akan segera bertemu."
"Jangan bercanda."
Diremasnya bibir tanpa suara. Kehadiran Riel di hari-hari yang super genting menambah kerusuhan dari tadi pagi. Meski apa pun yang dikatakan Riel sebelumnya benar, setidaknya Rio tidak mengharapkan bertemu empat mata dengan pembunuh ibunya. Ia terpaksa melarang diri melakukan hal-hal buruk pada lelaki keterlaluan itu demi keberlangsungan masalah ini ke ranah yang lebih serius. Kenyataan itu membuat kemurkaan yang tak kunjung padam di hati Rio.
Dua pasang mata tajam bersilat menembus udara sekitar yang kian memberat.
Ya, ya, aku bisa melihat kebencian dari matanya. Bukankah itu bagus? Sebab aku yakin dia melihatnya juga di mataku. Batin Riel adalah yang pertama menguntal reaksi.
"Cukup berani untuk hitungan katak dalam tempurung sepertimu," tegur Riel tersenyum miring. Mengejek terang-terangan.
Hawa permusuhan semakin dinyalakan oleh Riel, meski pun dengan sigap pemuda itu sengaja mempermainkan jenis senyum yang ia tampakkan. Menjaga kontak mata antara keduanya, Rio mengunci bibirnya.
Orang yang baru berpapasan dengannya tak genap satu hari itu tahu segala tentang dirinya, bahkan ketika Rio berada dalam posisi sebaliknya. Jiwanya masih berusaha mengeratkan kata sabar untuk menghadapi Riel. Masih berusaha menggali dalam-dalam alasan di balik kebencian mengakar setegar itu dalam diri Riel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...