"Semua orang yang pernah mengetahui sesuatu, atau mengenal seseorang, harus mengetahui akhirnya agar tidak menggantung."
Basa-basi apa itu? Tapi terlalu dalam untuk basa-basi biasa, bukan? Apalagi jika berasal dari anak pintar seperti Deva.
Sementara berusaha tetap menertawakan tingkah kekanakan Deva yang menggelayuti lehernya, Rio mencoba berkompromi dengan resah.
Pesan dari bibir Deva terbungkus seutas senyum.
"Aku gak ingin ada yang terlewat dan nantinya gak mungkin aku selesaikan lagi."
🎭🎭🎭
Punggung sepasang anak Adam terbalut oleh cahaya arunika. Wajah keduanya turut memantulkan semburat oranye dari pintu kayu yang baru terkatup. Bersamaan dengan seorang gadis yang tenggelam di balik legam.
"Selesai juga."
Tak ayal, desah lega di gendang telinganya menyebabkan perputaran pada persendian leher Rio.
Percayalah, menurut Rio, satu-satunya yang merasa tenang setelah pertemuan mereka di rumah Ifiana mungkin ialah Deva seseorang. Sedang dirinya? Entahlah, perasaannya tak bisa ia klasifikasikan ke kutub mana pun.
Enteng, pemuda bertubuh lebih mungil dibandingnya menggulung lengan baju agar lebih nyaman bergerak.
"Yah, aku juga sebenarnya baru berasa gak nyamannya sekarang." Kelopak mata Deva menyabit. Menimbulkan wajah yang selalu ampuh meluluhkan hati para gadis.
"Menganggu Ify padahal hari sudah mau gelap. Ah, untung sekali Ify baik meski kelihatannya kadang ramah kadang cuek."
Kumpalan opini belum terutarakan. Lelaki lain di jalan keluar perumahan itu melilit kencang tali pengerat topi hoodie-nya di antara telunjuk dan ibu jari. Bahkan dari sebelum berada di rumah Ify, belum ada jawaban yang memuaskan hatinya atas perbedaan Deva yang sedang berbicara seceria itu.
Untuk apa dia sesenang itu? Apakah dia benar-benar semangat memperbaiki hubunganku yang rusak dengan orang lain?
Mentari mulai surut. Seiring langkah mereka tiba di sisi jalur seberang gapura perumahan tempat tinggal si rekan perempuan, lamat-lamat perhatian Rio tak lepas dari satu titik di sebelahnya.
"Kamu sudah yakin dengan ini?"
Suara itu tetap riang. "Kenapa tidak? Masalah gak selesai cuma dengan gak dihiraukan."
Muka Rio tidak menampilkan warna lain selain keruh. Telaga hitam tajam menembus kejujuran di mata Deva. "Mata kamu berair."
Sedikit tersentak, ia terkekeh seraya menyingkirkan air yang–disesalinya–ternyata disadari oleh Rio.
"Bukan apa-apa, kok. Lagian, memang ada yang meninggal sampai harus nangis segala?"
Dia baik-baik saja.
Pemuda itu masih bisa bersenandung. Langkah yang terus melaju tidak terusik, tanpa memerhatikan Rio sama sekali. Memancing rasa ingin tahu yang semakin parah di dalam diri keturunan Kilimanjana.
Juntai kaki terseret pelan hingga tertinggal beberapa langkah di belakang Deva. Seluruh kulit punggung tangan itu tenggelam di kantung besar bagian depan jaket bertopi.
"You are your own weapon, they said."
"Kata-kata yang bagus!"
Laki-laki yang dikenalnya selama lebih dari satu tangan meresponi seolah ia baru saja membacakan baris paling epik dari sebuah karya. Siluet Devara di depan sana berlawanan dengan baskara. Menilik lebih lanjut, yang Rio temukan adalah laku-laku yang terdiferensiasi hingga membuat Rio harus susah payah mengenyahkan hal buruk yang langsung menggerogoti otaknya. Senyum khasnya yang janggal, alis yang menurun, juga gerak sirkular dari jari terpanjangnya di rib bawah pakaian. Dia baik-baik saja, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...