36 - Tender Tears

222 15 73
                                    

Serangkaian surat tercetak sempurna disingkirkan. Sang hakim yang berada di jantung persidangan mengangkat benda di sudut podium.

"Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada hari ini yang dibuka secara umum dan dihadiri jaksa penuntut umum, penasihat hukum, dan panitera. Dengan ini sidang ditutup."

Tiga ketuk palu hakim menggema.

Berkat pernyataan brilian dan berdasar Ivanka serta segala kerja kerasnya, Riel dinyatakan bersalah.

🎭🎭🎭

Pemuda yang diapit oleh dua petugas kepolisian berulang kali melirik setiap inci setelannya hari ini. Sepotong kemeja putih berlengan panjang, selembar celana bahan hitam terang, berpadu dengan sepasang alas kaki semi formal yang ia catut dari boks pemberian Ivanka kemarin siang benar-benar membungkus apik tubuhnya. Apalagi setelah sekian lama tidak melihat dirinya mengenakan pakaian selain setelan oranye dari kepala lapas.

Dan jangan lupakan satu lagi.

Tak ada satu menit sekali, ia terpaksa merapikan ulang bajunya. Itu pun sudah lebih baik dari pertama turun dari mobil. Tangan-tangan panjang jurnalis yang menghalangi dengan sodoran ponsel ditambah kehadiran khalayak yang memenuhi lapangan parkir tadi mendesak tubuh hingga menimbulkan gurat kusut di sana-sini.

Bukan sesuatu yang membuatnya terheran. Dalam hatinya, gebu-gebu antusias yang dipancarkan oleh keramaian tadi juga sama ricuhnya. Bagaimana tidak?

Hari ini akan menjadi hari terpenting sepanjang tahun bagi seorang Rio Kilimanjana.

Embusan hangat berasal dari tengah bibir. Memasuki area bebas media di belakang garis pembatas merah, Rio berusaha sebisa mungkin mendinginkan kepala.

Lorong gedung luas lenggang. Di tikungan terakhir yang akan mengantarnya ke ruangan bersejarah tujuannya, sepatu baru Rio seolah tersendat.

Dia ….

Permukaan bundar bola matanya memantulkan sesuatu yang ia duga tak akan ia temui, setidaknya tidak dalam waktu-waktu dekat. Bahkan ketika dua pasang mata bertubrukan di satu titik, teruna yang Rio pandangi mengalihkan muka ke garis-garis ubin kecoklatan.

Sejajar dengan salah satu tiang bangunan, serempak keduanya tak lagi melaju. Henti di tempat bak diberi komando.

"Kamu baik-baik saja?"

Tentu saja. Rio pun tahu tanya kakunya tak akan dihadiahi jawaban apa pun.

"Aku harap kamu baik-baik … saja."

Klang.

Sama pelan dengan suara yang baru saja diproduksi, intuisi Rio membawanya mengikuti sumber suara yang menjeda ucapan.

Lirikan Rio terkunci pada dua benda logam yang membatasi pergelangan tangan sang lawan bicara.

Memutus kontak atas benda yang amat familiar baginya, sensorik visual Rio menyoroti debu beterbangan yang berkilau di bawah seberkas cahaya matahari. Memandang jauh ke koridor kosong dengan benak yang seketika celik akan hal yang telah terjadi pada sosok itu. 

Tanpa bicara, keduanya hanya bersisian dalam kemelut pikir masing-masing.

"Kamu itu orang baik, Ri."

Penuturan lempeng memecah kesunyian.

Laki-laki bermarga sama tersebut otomatis mengangkat kepala. Menatap nyalang.

"Gak usah merendahkan. Untuk apa penghinaan itu?!" Gertakan tajam darinya menjelma percakapan perdana yang Rio dengar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang