Bias cahaya dari ventilasi dengan elok mengenai kayu coklat kemerahan, menjadikannya seolah menyala-nyala. Jajaran gelas lilin aromaterapi yang seragam memantulkan refleksi ibarat sedang membakar serat-serat memanjang di permukaan rak.
Seketika, Ify terpegun hebat.
Tangannya menjulur tinggi ke salah satu barisan rak. Jari-jari menekuk melingkari wadah transparan lilin yang menghangat disapa baskara. Mengangkat tubuh berpindah-pindah, pada akhirnya dirinya menyelubungi sebuah pemantik yang tergeletak di laci nakas Cakka dalam genggaman.
"Tidak, aku masih punya kesempatan."
Ada orang-orang yang pasti bisa membantuku di saat genting ini. Mungkin agak aneh, tapi memanfaatkan orang yang tidak kukenal dalam situasi begini tidak apa, 'kan?
🎭🎭🎭
Udara lembab terbang bebas dari sela-sela bibir kering. Jarak pandangnya masih menjangkau tempat yang ditinggalkannya beberapa menit silam. Desahannya menahan amarah, berulang kali terdengar seiring detik yang melaju pesat.
"Apa yang bisa aku lakukan?"
Jari manis pemuda itu menepis satu-dua serangga yang menempel di permukaan kaus tangan panjangnya. Bersandar di palang marka jalan, ditatapnya gedung itu seolah dapat menghancurkannya lewat tatapan saja.
Kembali ia berseloroh. "Mana Ify tidak memberitahu apa pun pula. Dan yang terakhir itu .... "
Mungkin jika bukan soal kebahasaan, pemuda itu sendiri yakin dapat melihat detil yang tidak dilihat orang lain. Lain masalahnya saat ia sadar kapasitas otaknya bukan milik seorang akademisi. Alhasil, dari sekitar satu paragraf kutipan yang Ify dan Cakka bahas di dalam tadi, paling banyak Rio hanya menangkap separuh.
"Itu kutipan dari salah satu buku. Tapi tidak mungkin Ify secara acak membicarakannya. Apa yang ada di pikiran perempuan itu?"
Dipejamkannya kedua kelopak, mencoba mengingat-ngingat barisan kata tersebut. Membiarkan frasa-frasa yang tak terlalu padu saling bertubrukan di gelapnya pandangan.
"Empty prairie ... waves of light and shadow... sky and birds flying up from it ... dan yang terakhir, no sign that any other human being had ever been there."
Keningnya berkerut halus akibat terlalu memaksakan diri menelisik makna di balik layar yang‒menurut Rio‒Ify sematkan di setiap pemilihan untaian itu.
Batin Rio berbisik ketika putaran roda pikirnya mulai berhasil ia jalankan. Sepertinya itu tentang suatu tempat yang indah, namun tidak ada yang menempatinya.
"Lalu?" Ah, ini lebih sulit dari yang dirinya kira. Sekadar mengartikan rupanya belum cukup untuk memberi petunjuk keberadaan Ify. "Tidak mungkin maksudnya di lapangan terbuka, 'kan?"
Leher panjang Rio tertarik naik. Badannya terhuyung maju, mewujudkan rencana untuk mendekati lokasi tuju. Memastikan topi hitam yang dikenakan menutupi sebanyak-banyaknya bagian wajah, dirinya memutuskan untuk tidak diam saja.
"Di luar itu, untuk sekarang aku harus tahu dulu bagaimana tempat itu tanpa tertangkap. Setelahnya, baru nanti aku pikirkan."
🎭🎭🎭
Rasa dingin yang nyaman dari permukaan seprai kualitas tinggi menyapa kulit kaki Ify. Memposisikan diri duduk menyamping di tepian, Ify menyortir beragam benda yang ia tebarkan di kasur.
Alat tulis, kertas, buku, lilin, kasur beserta bantal-bantalnya. Apalagi yang aku punya di sini? Mata Ify tak ada henti mengitari sudut-sudut mana saja yang dapat ia lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...