"Kamu mulai dapat mengerti tentang itu, 'kan?"
Tulang pipi Ify terangkat tinggi. Menyebabkan kelopak bawahnya menutupi sebagian mata dengan manis.
Pupil mata Rio sedikit membesar, ditutupi oleh kedutan manik tajam yang menjernih dalam sabitan. Seulas senyum hangat yang turut menghadiri Rio mencairkan canggung.
Dalam lubuk batin paling tepi, baik Rio maupun Ify sedang mencari-cari sesuatu yang mengisi celah. Mengikat hubungan dalam rasa saling membutuhkan selayaknya manusia lain yang merasakannya tanpa mengungkapkan keluar hati. Sebab isi relung manusia itu marak oleh teka-teki yang terasa tak biasa. Bahkan hanya dengan melihat senyum seseorang saja bisa menggerakkan hati.
🎭🎭🎭
"Hm."
Itu adalah dehaman ke sekian Rio dalam kurun waktu enam menit terakhir. Pembicaraan yang entah bagaimana berakhir menghangatkan membuat mereka larut, rasanya tidak ingin berpindah dan melanjutkan hari-hari berat yang nyata adanya.
"Kalau begitu, apa aku boleh pulang duluan?"
Yang pertama bangkit merupakan sang gadis rupawan. Tanpa menunggu timbal balik dari Rio, ankle heels miliknya telah membalut indah tumit dan pergelangan kaki Ify. Ketenangan terpancar, tertular pada pemuda di belakangnya.
"Tentu."
Rio mengiringi gadis itu melewati perbatasan terakhir ruko. Terkekeh sebentar ketika gadis itu dengan khas berputar, menunduk sedikit, dan mengayunkan tas bawaan ke depan tubuh.
Direntangkannya dua anggota gerak ke udara. Perasaan yang cenderung terhimpit di sanubari melonggar beberapa kali lipat. Berbagi kisah dengan gadis cantik itu menjadi satu hal baru lagi yang secara ajaib mendamaikan. Terbawa sampai tapaknya menyusuri tangga samping ruko, menuju muka tempat tinggal yang tertutup.
Memandang lurus ke knop pintu, gerakan turun yang menyebabkan terbukanya pintu tersebut tertahan oleh tangkupan di punggung tangan. Diserta kekehan menyebalkan di ujung gendang telinga.
"Bocah, kau ini sombong sekali."
Eksistensi yang sedang tidak ingin dia bicarakan. Sejurus manuver yang belum masuk dalam ranah bersahabat dengannya menyebabkan Rio menoleh kilat. Permukaan depan pintunya dihiasi kertas dengan print roti yang familiar di ingatan Rio.
"Kita tidak punya urusan lagi, pergilah." Diremuknya selebaran itu.
Tiga pria tinggi tahu-tahu bersandar di daun pintu, menghalangi maksud hati untuk beristirahat dengan tenang. Tubuh jangkung, tubuh kekar, dan tubuh padat pendek tak jauh berbeda dari kejadian silam maupun pertemuan mata di Perkasa Abadi beberapa waktu lalu.
"Lihatlah dia!" Raut meremehkan tak ayal Rio terima.
Badan Rio meliuk, tunduk, tertekuk. Masih begitu fit, gerakan manusia-manusia itu berusaha memberi beberapa pukulan pada tubuh Rio. Geraman dalam senyum mereka mendistorsi strategi. Menyadari Rio terlalu baik dalam menangkis kepalan, ketiganya memikirkan satu cara lama yang mereka rasa menarik buat Rio.
Kuku tebal milik satu-satunya sosok diantara mereka yang lebih tinggi dari Rio tanpa ampun tiba-tiba menjambak asal rambut belakang Rio. Mengangkatnya sejajar dengan ubun-ubun.
"Ck!"
Sikut Rio terus mencoba mengenai penyebab rasa perih yang menjalari akar rambutnya. Ini bukan pertarungan tangan kosong di mana ia akan selalu unggul. Pria-pria tersebut berhenti memberi serangan ofensif, lalu berganti menyudutkan Rio untuk melakukan gerakan defensif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Azione"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...