Bagian ini mengandung konten sensitif. Jadilah pembaca yang bijak, ya!
🎭🎭🎭
Larissa Ifiana Tanuarja
Mlm. Maaf ganggu.
Apa bisa minta tolong utk kasih tau Rio?
Bsk klo ketemu Rio, bilangin aku
mau jalan bareng dia. Thx.Memastikan pesan singkat itu tersampaikan, diusapnya layar sentuh itu hingga menghitam. Netra di wajahnya pun melegam. Deva tenggelam dalam malam dengan hati yang melempam.
🎭🎭🎭
Lenguhan kantuk tersuarakan di ruangan yang kini telah disusupi oleh tangan-tangan lembut mentari. Sebuah pergerakan dari sosok menggeliat menimbulkan sedikit gurat di seprai mulus. Mengerjap menyesuaikan cahaya yang memasuki retinanya, ia bersandar di kepala kasur.
Tempurung itu bergesekan dengan dinding kala matanya menatap jendela. "Minggu pagi, 'kan, kalau gak salah?"
Digapainya ponsel di nakas dekat ranjang. Menyipitkan mata akibat layar yang terlalu terang untuk mata baru bangunnya. Tertera di sana, hari libur yang dinantikan sejuta umat.
"Agnes libur juga berarti."
Meregangkan lengan serta memutar pinggang bergantian, rasa pegal berangsur hilang. Air segar yang membasuh wajah juga berhasil mengembalikan kesadaran.
"Ag."
Dimulai dari yang terdekat dengan kamar, derit pintu yang tak pernah terkunci menampakkan ruangan gelap yang melompong. Perlahan merapatkan kembali pembatas ruangan. Memasuki ruangan tengah, tidak ada suara lain yang menyambutnya kecuali dari mesin kulkas di dapur dan kicau burung di teras.
"Hm? Masih tidur mungkin." Ia refleks memundurkan leher. Menyangkal ucapan sendiri. "Tapi biasa selalu sudah bangun duluan, kok."
Langkah kaki terhenti di satu-satunya pintu yang belum terbuka. Didorongnya lembut pintu tanpa mengetuk.
"Agnes?"
Udara sejuk dan aroma pinus menyeruak ke indera penciuman. Menandai keberadaan sang gadis dengan wewangian khas favoritnya.
Dengkusan pasrah begitu saja terlepas. "Pantas aja gak dengar. Ternyata pakai earphone."
Meski sudah sengaja berdiri menghalangi cahaya lampu, resiliensi gadis itu terhadap kegiatannya memang patut diacungi jempol. Mau bersiul pun, keberadaannya masih angin lalu bagi Agnesca yang tertunduk membaca ponsel.
Pelan-pelan dicabutnya benda yang menyumpali sebelah telinga gadis itu. "Penghujung weekend tetap sibuk aja. Apa bedanya sama pas weekdays?"
Perangkat canggih di telapak tidak dimatikan, namun sebelah penyuara di telinga Agnesca kini telah terjuntai bebas.
"Ya … begitulah."
"Kamu belum keluar kamar dari sejak bangun?" Bagian belakang Deva sempurna mendarat di tepi tumpul meja kerja Agnesca.
Yang menerima tanya mengangguk. Sesekali masih mencuri kesempatan mengetikkan satu dua kata.
Lirikan sang pemuda teralih dari sang gadis ke ponsel yang dibawanya. Membunuh bosan–mungkin sekalian menunggu Agnesca menggubrisnya–dijalankannya telunjuk di beranda mesin telusur. Beberapa berita politik berderet, tidak menarik hati untuk membuka tautan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...