Jika saja gadis itu tahu akan menjadi seperti ini, ia yakin ia akan mencari rencana lain.
Semua bermula dari sebuah pertemuan, yang menarik benang merah menuju titik rumit yang jauh dari bayangannya.
Langkah kecil-kecil dari sepatu tinggi tujuh senti dengan anggun membelah rerumputan pendek di sekitar mata kaki. Desau angin menerbangkan rambutnya menjauhi kepala, membuatnya tersenyum geli ketika lehernya tersapu pelan oleh beberapa helaiannya.
"Cuaca yang indah untuk berjalan-jalan."
Lapangan hijau yang ia datangi sedang lenggang. Tapaknya memutuskan berhenti.
"Andai aja gak ada hal-hal menyebalkan yang telah terjadi itu, pasti lebih menyenangkan."
Kekehan yang hampir tak berbunyi lolos begitu saja. "Menikmati ini di hari-hari belakangan seperti anugerah."
Gadis itu menahan helai rambut yang menghalau pandang.
"Apa ini sambutan dari dunia yang udah lelah lihat aku mengeluh setiap jam?"
Ia membuang napas dan menggeleng. "Ada-ada aja."
Hari yang seakan bersahabat dengannya tetap tidak bisa memberinya alasan untuk ada di dunia. Baginya, dunia sudah tidak lagi membutuhkannya.
Jadi, mengapa ia masih dibiarkan hidup?
Sibuk berkutat dengan pikiran, sebagaimana kebiasaannya, gadis itu baru menyadari sesuatu yang janggal di lokasi itu.
Matanya mengekori sosok lain yang tampak gusar. Ia nampak mengejar sesuatu. Gadis itu juga jelas melihat ada sesuatu disembunyikan di tangan kanannya yang tidak dikeluarkan dari saku jaket. Dari siluetnya, dirinya sudah bisa menebak benda macam apa itu.
"Itu dia."
Dia kembali bergerak. Tujuan jangka pendeknya saat itu hanya satu, yaitu mendekati sosok itu. Ketika memperhitungkan jarak mereka sudah cukup dekat, sengaja ditundukkannya diri seolah-olah tengah memperbaiki kaitan di pergelangan hak tingginya.
"Semoga dengan ini berhasil."
Bersamaan dengan sosok tadi yang semakin tergesa meninggalkannya, gadis itu mengayunkan kaki dengan santai. Secara sadar menghentikan laju tepat di ujung tebing paling jauh.
Diangkatnya telapak kiri memijak kehampaan di bibir tebing. Selang pergantian detik, kaki yang sama ia tarik mundur guna mengurungkan maksud hatinya.
"Cara ini bisa aja kulakukan, tapi beritanya nanti akan kelihatan miris sekali." Lagi-lagi ia hanya bisa tertawa hampa.
Tepat di depannya, hamparan gedung-gedung elit kota menyapa dari ketinggian.
"Tinggal menunggu waktu aja, kurasa."
Dia memindahkan telapak kiri yang sebelumnya menggenggam tangan lain di belakang punggung. Dengan lembut menyentuh sisi pinggang sebelah sana.
"Lagi pula, gak akan ada yang mau sesuatu yang udah gak lagi sempurna."
🎭🎭🎭
Seorang pemuda melompat turun dengan sempurna dari tanjakan perbukitan yang cukup tinggi. Mata jelinya menembus kejauhan dengan sangat jelas.
Di kotak pikirnya, terpotret salah seorang gadis pengunjung bukit yang menarik perhatian.
"Dia terlibat. Dia ada waktu itu. Dia dan anak itu sangat mirip. Aku harus cepat."
Berpikir kilat, ia berjalan mengikuti arah gadis itu.
Nyaris berhasil menyamakan langkah, Rio Kilimanjana–pemuda itu–mendecak. Ia terpaksa menundukkan kepala saat dirinya menabrak manusia lain yang tiba-tiba berada di jalur yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Azione"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...