2 - Partner in Crime

395 101 180
                                    

Sang gadis rupawan menahan geli. Di belakang punggung, dua tangannya bersilangan satu sama lain.

"Bukan hanya aku yang perlu biasain diri sama kegiatan kamu. Sebaliknya, malah kamu yang kelihatan kesulitan."

Rio nyaris ikut terkekeh. Memilih menampilkan senyum kecil yang hampir tak terdeteksi.

"Sepertinya memang begitu."

Akan mereka ingat baik-baik catatan dari rangkaian pembuka misi hari ini:

Dalam waktu-waktu ke depan, mari saling membiasakan diri dengan kehadiran satu sama lain!

🎭🎭🎭

Rambut tergerai indah tertiup anggun tersibak hawa dingin fajar. Bermodalkan lampu kekuningan di atas kepala, Ify menenggelamkan diri dalam lautan kata berbahasa Inggris di bukunya.

Apabila diingat-ingat, Ify memang datang agak lebih dulu dari waktu janji temu.

"Perlu waktu diskusi mau kemana, 'kan?"

Bagaimana tidak? Sepulang dari salon kemarin, tidak ada hal besar yang mereka lakukan.

Baik, Ify ralat. Ke salon itu hal besar bagi Rio.

Karena itu pula, telah diputuskan untuk mengundur kegiatan lain ke hari ini. Masalahnya, obrolan mereka berujung gantung.

"Agendanya?"

"Siapa yang tahu? Aku pikirkan besok."

Apakah Rio Kilimanjana yang berada di dekatnya merupakan sosok berbahaya itu? Seberbahaya apa? Atau ... apanya yang bahaya jika terus-terusan seperti ini?

Rasanya Ify belum mengerti, bahkan setelah berbicara berdua langsung.

"Ify."

Panjang umur.

Menyahut suara yang mendekat, ia tak mengubah posturnya. "Kamu dari mana? Subuh udah keluyuran aja."

"Sejak kapan kamu di sana?"

Dasar Rio menyebalkan. Dia selalu boleh bertanya, di saat dia sendiri enggan menjawab. Untung saja Ify dapat menahan hasrat untuk mengeluh tentang pemuda di hadapannya.

"Tadinya sudah sampai lebih pagi, tapi sempat balik lagi. Ambil ini."

Mata Rio mengecil, mengeja dengan asing tulisan-tulisan di sampul novel Great Expectation besutan Charles Dicken yang Ify tunjukkan.

"Soalnya kalo nunggu di sini gak ngapa-ngapain akan kelihatan terlalu gak biasa."

Padahal di sini jelas-jelas gak terlihat dari depan juga, sih.

Bibirnya mengerucut. Celetuk dari dalam tempurung kepalanya mengganggu. Mengapa ia baru terpikir?

Dua bahu tegas Ify bergerak naik. Berusaha mengabaikan pertanyaan yang tidak penting lagi untuk sekarang.

Salah satu ujung kuku lentik mengetuk lembut benda yang ia tangkupkan. "Dan untuk pertanyaan kamu tadi, waktunya cukup untuk seperlima buku."

"Kamu balik ambil buku? Cepat sekali." Rasa takjub dan heran bercampur lewat kalimat Rio.

"Oh, kamu belum tahu? Rumah aku gak jauh dari sini."

Indra bicara pemuda itu membulat kecil. "What a coincidence."

Ify berbalik, menyandarkan diri di tepi pagar pembatas. Disilangkannya tas yang sebelumnya hanya tersampir di pundak.

"Mau kebetulan atau bukan, terserahlah. Yang pasti, kamu gak suruh aku masuk?"

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang