33 - Katarsis

251 27 128
                                    

Memori yang terperangkap sebuah foto dengan mudah menggulir roda perbincangan.

"Aku sudah semakin tua tapi senyumanmu tidak pernah berubah, Ka."

Semua terjadi sangat cepat, saling tumpang tindih sehingga Ryan tidak cukup cekatan untuk mencegah peristiwa merumitkan yang mengikuti tiap keputusannya.

Terutama ketika suratan takdir tidak lagi mengizinkannya untuk menghindar. Seperti saat itu.

<3
Yah jgn lp bwain kw coklatny. Ditgihin ni :D *

Iya

Tawa tiba-tiba milik pria berusia hampir kepala empat menimbulkan tolehan dari seisi ruang. Isi pesan singkat itu menyampaikan hangat di dada kala kesibukan kantor membuatnya penat.

Merasa diperhatikan, ia menunjuk ponsel yang menjadi penyebab. Alhasil orang di sekitar justru terkekeh memaklumi.

"Orang rumah, ya, Pak?"

Deretan gigi besarnya melebar. "Iya, Pak. Biasa, harus bawa titipan."

Bangkit dari meja kerja, Ryan memilih untuk mencari angin segar di waktu makan siang kantor. Kantin kantor tidak terlalu ramai, tapi sepertinya hari ini ia ingin suasana lain.

Menggulung lipatan kemeja, tersusunlah rencana dalam monolog. "Sekaligus beli kue saja, ya? Nanti kehabisan lagi."

Langkah kaki yakin dilayangkan ke pintu keluar. Beberapa kali diperiksanya balasan pesan terakhir yang ia kirim.

"Eh, Pak Ryan."

Fokusnya teralih pada wanita yang kini berpapasan. Buru-buru ponsel tersebut disematkan kembali ke saku celana. Bersamaan dengan tangan kanan yang ikut ia sembunyikan.

"Makan siang, Pak?"

"Iya. Mau bareng, Ka?"

Rekan kerja yang dipanggilnya 'Ka' tentu tidak menolak. Lagi pula, bukankah sudah biasa seperti ini?

Ting!
Notifikasi ponsel yang bergetar di saku sekilas Ryan sadari. Jemarinya meluncur membuka aplikasi.

Iya

Lg mkn siang?

Senyum dan perasaan membuncah yang sebelumnya hadir tak bertahan lama. Lengkung wajahnya luntur, digantikan garis kecut dari bibir tebalnya.

"Semoga setelah kalian tau, kalian masih mau maafin Ayah."

Kelembutan menyapa gendang telinganya. Tak tahu bagaimana malah mengejutkan Ryan. "Bapak bilang sesuatu?"

"Hm? Gak."

Teman bincang yang mendampingi mengernyitkan dahi. Mengenal Ryan luar dalam, lekat matanya menelisik keanehan sang lelaki hari ini.

Menunggu pesanan di salah satu restoran yang berseberangan dengan kantor, si wanita mengecek sekeliling. Menghela napas menyadari seisi pengunjung merupakan orang asing bagi mereka.

"Ryan, kamu kenapa? Tadi kamu baca pesan dari siapa sampai panik begini?" Lembut, diusapnya keringat yang membasahi kulit Ryan.

"Bu-bukan."

Bukan? Rumpang sekali kalimatnya itu.

Alih-alih melengkapi susunan frasa, Ryan memilih merapalkan hal lain.

Telapak kiri paruh baya itu singgah di permukaan pakaian atas wanita itu. Mengusap penuh sayang perut yang masih datar.

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang