Napas Agnesca mulai tenang. Ify membalikkan tubuh ringan gadis itu, masih menahan pelukan di pinggang Agnesca. "Kita memang gak saling kenal sebelumnya. Meski begitu, sebagai langkah kecil, biarkan aku membantu kamu melangkah maju dari perasaan buruk yang meremukanmu."
Empat mata beradu. Menyoal perkara dalam hati yang tengah berusaha mereka uraikan pelan-pelan. Hangatnya tatapan dan usapan Ify disusul oleh sebaris kalimat yang dengan cepat terbentuk di sela senyum manisnya.
"Setidaknya untuk Deva, lalu untuk kamu sendiri."
Dalam pelukan Ify, gadis ringkih itu seakan perlahan menghilang. Tangis Agnesca biarkan mengalir deras lagi di kedua pipi. Berharap ini adalah tangisnya yang terakhir.
🎭🎭🎭
Ruang tamu beraroma vanila manis diisi dua ritme tarikan napas teratur. Denting sendok teh yang tidak sengaja menyapa pinggiran cangkir melenyapkan canggung yang tertahan beberapa waktu. Anggun, Ify menutup sesapan terakhir teh hangatnya dengan meletakkan cangkir ke atas meja.
"Sudah lebih baik?"
Dehaman lembut melesak ke udara, dibuntuti oleh suara serak Agnesca yang bersebelahan dengannya. "Terima ... kasih."
Tepukan agak keras Agnesca arahkan ke tubuh belakang. Menghilangkan kusut di sana, keadaan tenaga yang tampaknya sudah berangsur terisi membawanya melangkah mengikuti tamunya yang terlebih dahulu berdiri.
Iringan kaki keduanya tiba di muka pintu, tempat sebelumnya seluruh perasaan tertumpah begitu saja. Simpul singkat terikat di bibir Ify.
"Terima kasih kembali. Aku rasa kita bisa lebih banyak bercerita tentang hal-hal lain setelah hari ini."
"Kamu benar." Ia terkekeh sembari mengusap pipi bengkak sisa tangisnya. "Tentang kamu dan Rio, misalnya."
Ujung ankle heels Ify terketuk sekali lagi ke dasar teras kediaman Agnesca. Terpasang dengan cantik dan pas di pergelangan kaki. Punggung yang ia luruskan berhadapan dengan Agnesca tersentak sangat minim. Apa baru saja perempuan itu menyebut Rio secara sadar?
"Rio? Jujur aku tidak menyangka kamu akan membahas itu," ungkapnya setengah berbisik. Percakapan buruk ketika mereka terakhir bertemu membuat Ify semakin meragukan niat Agnesca.
Berkontradiksi dengan seluruh kecurigaan Ify, gadis itu justru tersenyum kecil. Sangat tulus hingga Ify sendiri dapat melihat kesungguhan di telaga gelapnya.
"Ag–"
"Kamu bisa pulang sekarang."
Ekspresi Agnesca benar-benar kosong. Mata yang telah cekung demikian rupa menatapnya lurus. Ada sebagian diri Ify yang tercubit mengetahui seutas senyum lemah sekaligus tulus tetap tidak menutup utuh perasaan yang sebenarnya.
"Sungguh?"
Anggukan cepat mengantarkan langkah Ify yang merunduk sebentar, berpamitan dengannya. Mungkin se-berbeda apa pun cara Rio dan Agnesca menanggapi kepergian, dalam nalarnya Ify percaya, siapa pun perlu kesendirian untuk berdamai lebih mudah.
Pengamatan Ify betah terarah ke jalanan yang terbentang. Kecamuk antara kelegaan dan kekhawatiran beradu dalam batin. Menarik atensi Ify ke dalam benak tanpa memperhatikan arahnya.
"Lihatlah ke depan, kamu bisa jatuh jika menunduk sepanjang jalan."
Seseorang dengan warna suara serak menghalangi aksesnya. Mengangkat kepala, sorot mata Ify bertubrukan dengan mata elang tak sedang nyalang. Juntai poni lurus tersampir ke belakang daun telinga.
"Bukankah aku peringatkan untuk di rumah saja? Kamu bilang kamu tidak bisa pergi, 'kan?"
Letak Rio kala itu menunggunya di jarak yang cukup jauh dari rumah Agnesca, pastinya tidak Ify sadari sejak kapan Rio gencar mengekori. Meski lancar berdiri bahkan menemani perjalanan pulang, pucatnya Rio seharusnya menandakan ia akan lebih baik menetap dan mengistirahatkan mentalnya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...