Perangkat minimalis itu terlempar setinggi beberapa kepal ke udara, mendarat dengan selamat di tangkapan pemuda yang sama.
Bibir bawah sang pemuda setengah terbuka. Ibu jari menggesek bibirnya itu, mencetak lengkung yang melebar. Kantung plastik yang menggantung di telapak ia jinjing melampaui sebelah pundak tebalnya.
"Menarik, menarik."
🎭🎭🎭
Terusan linen kecoklatan yang tergantung di dekat kaca kamar membungkus tubuh langsing dengan apik. Dengan telaten, jemari Ify bergerak cepat mengikat pita yang melilit pinggangnya. Dikibaskannya rambut terurai hingga ke belikat, mencoba melatih seringai bersahabat yang terpantul di kaca.
Tidak buruk, tapi tidak baik juga.
Desahannya hilang. Mungkin perlahan-lahan ia akan lebih mudah tersenyum di masa depan ketika waktu yang tepat datang. Lebih baik sekarang ia mulai memikirkan kegiatan lain yang bisa mengisi senggangnya. Mungkin Rio‒yang kemarin terpaksa tak terpaksa menemaninya berbelanja buku‒punya 'pekerjaan' untuknya hari ini.
Atas ide inisiatif yang bodohnya mengarah ke nama Rio, tekukan kentara terpajang di raut sang gadis manis. Kenapa juga harus melatih senyum sekarang? Siapa yang perlu senyum untuk bertemu dia?
Menyebalkan juga, apa bila Ify boleh mengaku terang-terangan, bagaimana Rio dengan mudah membuatnya lebih sering meninggalkan rumah, menyatu dalam kerumunan, memiliki semacam misi harian seakan sedang berada dalam permainan arkade.
"Meski akhirnya tidak ada kemajuan juga, sih. Hah."
Mau bagaimana lagi? Anak itu semakin ke sini semakin santai saja. Apa gebu-gebu tentang memecahkan permasalahan Rio itu sudah hilang? Dia melupakannya, mungkin? Jika Ify sampai tahu bahwa Rio sungguhan tidak berniat menyelesaikan apa yang dimulainya, Ify siap mencabik muka pemuda itu.
"Dasar gila. Dia harus segera aku ingatkan agar aku juga dapat bebas dari keseharian ini. Setidaknya sekarang sedang tidak ada hal-hal aneh yang mengganggu."
Ya, tidak sepenuhnya Ify menyalahkan Rio. Terlalu banyak kejadian yang memaksa mereka menunda. Apa ini yang dikatakan semakin kuat manusia ingin melangkah maju, semakin kencang angin yang menghempas? Sepertinya.
"Hm?"
Pendingin ruangan kamar belum lama ia matikan bersamaan dengan lampu yang sempurna padam. Sewajarnya tidak ada pergerakan apa pun setelah itu selain tepi pintu yang menempel di kusen pasangannya. Lantas mengapa tubuhnya sedikit bergidik, merasakan ada pasang netra tak kasat mata yang mengekori gerak-geriknya?
Lilitan jari Ify menguat di pegangan tas anyam rotan. Mencangkring alas kaki bersol tahu, ringkas Ify melesak menuju pintu utama rumah.
"Tidak ada orang?"
Gadis itu hafal betul fragmen-fragmen rutinitas di kediamannya sendiri, dan rasanya belum ada sesuatu yang berubah. Kerlingan bola mata bening Ify tertaut pada semak perdu bunga Zinia yang ditanamnya di dekat meja tamu teras. Beberapa helai daun bagian atas menyisakan gerak gemerisik padahal angin hari ini terlalu kering untuk menggoyangkan gerombolan itu.
"Meski sedang mekar, sejak kapan bunga Zinia punya bau semanis ini?" Hidung bangir Ify mendekati kelopak kuning itu. Semerbak yang sama menguap semakin kuat di indera penciuman ketika ia menghidu hingga ke daun di tangkai bunga. "Benar. Harumnya berasal dari sini."
Puas tersita oleh aroma yang membiusnya dalam sepersekian detik, langkah kaki Ify mengambang meninggalkan tempat tinggal. Melalui bangunan-bangunan tetangga, tanpa ia sadari, Ify mengusap leher depan. Perjalanan menuju gapura perumahan entah bagaimana menguras energi yang lebih dibandingkan biasanya. Jarak tempuhnya tidak berubah sepeser pun, akan tetapi Ify kebingungan mencari rute keluar. Belum lagi sensasi tak nyaman di ubun-ubun serta kerongkongan menggerogoti setelah setidaknya lima setengah menit berputar-putar di daerah kompleks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...