26 - Mata Rantai

271 34 98
                                    

Bagian ini mengandung konten sensitif. Jadilah pembaca yang bijak, ya!

🎭🎭🎭

Rio membelalakkan matanya. Dua baris misterius itu kini memenuhi pikirannya. Terlebih, bagian terakhir yang ia baca lamat-lamat. Ini menjadi semakin membingungkan.

Nama itu ... apa maksud semua ini?

"Riel Kilimanjana."

🎭🎭🎭

Dalam paruh waktu yang tumpang tindih, dua gadis lain menumbuhkan wacana untuk mencari benang merah pada peraduan yang tampak seperti arena taruhan. Belum pasti, namun tak akan diketahui tanpa mencoba.

Tas AMI Paris small small shoulder bag merambatkan getaran. Sang gadis meluruskan posisi terusan coklat dengan gaya vintage. Tungkai kaki mengembara menembus koridor kereta yang untungnya tak sepadat stasiun tadi. Menempati pojok kursi panjang kereta layang yang cukup sunyi, ia mematuk perhatian pada layar perpesanan singkat.

Natasya Ivanka
Sudah sampai stasiun mana?

Stlh ini yg terakhir.
Rapatmu slesai?

Belum, hanya sedang diberi break
sepuluh menit.

Begitu, ya.

Kamu tahu kenapa aku memintamu ke sana?

Naungan alis Ify menegak. Sungguh pesan SMS dari Ivanka yang tak terlepas dari kepribadian sang gadis. Tanpa singkatan, melesat langsung ke titik tengah, tanya retorik agar tak melangkahi prosedur formalitas. Apa yang lebih baik dari itu?

Ya. Buku itu jendela dunia dan
perpus itu surga buku.

Benar. Aku yakin kamu bisa cari informasi
dari data tersimpan atau arsip komputer,
atau apa pun yang dapat membantu di sana.

Akan kucoba sbaik mgkn.

Sebenarnya ada hal lain. Aku tak berhasil
mendapat namanya, tapi sepertinya Ryan
Kilimanjana punya relasi atau satu-dua orang
yang berkesan buatnya sebelum ada Rio.

Sontak rahang Ify bergemeletap.

Rio tau?

Aku tidak memberitahunya.

Persis notifikasi Ivanka berkedip di genggaman, derik roda yang menggerus alur rel melengking nyaring di telinga. Dari jendela di sampingnya, Ify sudah dapat membaca nama stasiun pemberhentian terakhir dari trip kereta cepat. Stasiun tujuannya.

Semilir berteman cerahnya angkasa menerpa pipi kala ia keluar dari stasiun. Gedung puluhan lantai gagah menembus langit. Berjarak sekian meter dari punggung gedung, tower crane sibuk unjuk ketangkasan. Alat berat mengangkat beton-beton baru. Beberapa titik-titik clawler crane di kejauhan juga tampak hilir mudik. Menurut tiang pancang kepemilikan tanah yang sempat Ify tengok di batas depan perpustakaan, wilayah ini akhirnya diatasnamakan oleh pemerintah. Berbagai pembangunan langsung terlaksana sana-sini.

Area sejuk nan nyaman serta merta membangun ketenangan bagi Ify. Perpustakaan Nasional, salah satu tempat di mana Ify dapat selalu kembali. Telah pakam seluk-beluk di luar kepala, langkah Ify tegap menapaki lantai dua.

"Hai, Kak. Hari ini kembali datang? Sudah kehabisan stok baca, ya?"

Gurauan penjaga meja monitor utama perpustakaan ditanggapi Ify sama ringannya. Terkekeh kecil, Ify meloloskan tali silang tas kecilnya dari kepala.

Great PretenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang