Bagian ini mengandung konten sensitif. Jadilah pembaca yang bijak, ya!
🎭🎭🎭
Beranjak ke dua tempat yang bertolak belakang, tanpa mereka ketahui, keduanya menggeleng tak percaya bersamaan. Dalam hati membatin serempak, ada-ada saja.
Topi berbahan jeans yang pias tercantol di mercu kepala. Menutupi puncak kepala seperti semula. Rio menampar lembut belakang lehernya, membunuh pegal sekaligus kegilaan pemikirannya sendiri.
Tak disangka aku akan berlari seperti ini lagi demi orang lain.
🎭🎭🎭
Melelahkan.
Bibir laki-laki muda yang baru sampai tidak jauh dari gedung sasarannya ingin sekali mengeluarkan sumpah serapah. Merutuki udara kering yang senantiasa terasa di tengah hari ini, sialnya dirinya saat itu (maksudnya selalu) terpaksa berjalan kaki ke lokasi yang sejauh apa pun.
Mata jernih menyapu dasar hingga pucuk gedung. Mendecak tak percaya sembari meluruskan topi yang hampir terjatuh karena menengadah.
"Sudah tutup, ya." Gaya Rio tampak lesu bermonolog. "Wajar juga. Memang kamu kira berapa tahun lewat sejak itu?"
Yang tersuguh di nyata mata bukan lagi ruko dengan sebaris lumut di siku tembok, melainkan bangunan mengkilap beberapa lantai. Palang nama di atas pintu masuk pun telah menjelma ala perkantoran yang lebih modern, jauh sekali dibanding zaman tulisan desain biasa-biasa dulu.
Baik, sekarang apa?
Peluh dari pori-pori epidermis Rio bersihkan menggunakan ujung baju. Kaki terayun mencoba mendekati lobi utama.
Akan selalu ada hal baru, kata orang-orang. Mari kita coba buktikan.
Hitung-hitung biar usaha 'terpanggang' matahari ini tidak sia-sia. Siapa pun pasti akan setuju … 'kan?
Sepasang sepatu terhenti di mulut gedung. Salah satu poster promosi setinggi bahu gagah terpampang di sampingnya.
"Kalau dilihat-lihat, ini seperti kantor jasa keamanan." Jujur mengejutkan bagi Rio mengetahui kantor berfungsi demikian dapat berdiri sebesar ini.
Abjad demi abjad dia eja lamat-lamat. "PT. Perkasa Abadi, nama perusahaan yang kuat. Mengerikan." Bergidiklah Rio dibuatnya.
Dengan rasa penasaran, diliputi juga sedikit keraguan, ia bergeser menyamping. Dalam pantulan bola matanya, beberapa pria berseragam abu kecoklatan khas satpam lalu-lalang. Begitu pula wanita di meja kasir yang sedang menjelaskan entah apa pada seseorang yang baru menghampiri.
"Mencari siapa, Pak?"
Moncong topi tertunduk dalam, diusahakan menyembunyikan ekspresi Rio yang tak menyangka akan disapa. Dan lagi, 'Pak' katanya? Ya, sudahlah.
"Em … tidak. Baru lihat-lihat saja karena kerabat cari referensi buat jaga rumah baru." Semoga jawaban itu cukup memangkas tanya-tanya selanjutnya.
Dan sepertinya harapannya dikabulkan oleh Yang Di Atas. Sempat diam, berat suara itu menenangkan Rio.
"Baik, Dik. Silakan."
Tarikan otot wajah Rio akhirnya dapat mengendur jua. Pria berpostur ideal meninggalkannya sendirian. Bersamaan dengan kepergiannya, Rio masih merasakan sisa kegugupan yang sulit dihilangkan.
"Untung dianggap bapak-bapak. Tapi perasaan tadi … "
Dahinya berubah tidak mulus. Pemuda itu berpikir keras hingga buah pikirnya tertumbuk di kesadaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...