Tubuh Ify tegak menyapa punggung tempat tidur. Bisikannya tak lagi separau sebelumnya.
"Tidak lagi. Aku ingin lepas dari mimpi buruk itu."
Tangan sang gadis terulur, kemudian bersilangan menarik kedua bahu. Memutuskan untuk memberi peluk dari dan untuk diri sendiri.
"Rio .... "
🎭🎭🎭
"Awas aja kalo lo berani kabur."
Serapah pedas dari bibir salah satu laki-laki yang menggiringnya sama sekali tidak mengusik Rio. Yang ada, sepanjang di perjalanan dalam mobil hingga berjalan kaki, tak henti disentakkannya pundak serta lengan miliknya, menjauhkan dari tangan-tangan yang seolah ingin membuatnya bak orang lumpuh otot. Hei, tidakkah mulut-mulut itu tidak bosan memperingatkan hal yang sama secara bergantian dari tadi?
Kalau mau kabur, bukannya sudah kulakukan dari tadi saja? Itu tidak sesulit itu buatku. Decakan malas lolos dari balik wajah datar sang kawalan.
Bunyi aduan besi aksesori rantai di celana orang-orang di sekitarnya terdengar serempak, sama dengan laju yang berhenti di depan gedung besar dalam lorong paling akhir jalan protokol.
"Kalian jaga dia sebentar."
Pria bertubuh paling jangkung hirap di balik pintu seberang tubuh. Menyisakan Rio yang lagi-lagi dikelilingi oleh antek-antek sisa yang enggan mencabut penglihatan dari arahnya.
Segala penjuru indera Rio diasah lebih tajam.
Alas kaki kotor yang ia kenakan tampak begitu kontras dengan lantai tegel bercorak keabuan di bawah kaki. Aroma dengan kesan bersih memasuki rongga penciuman. Ruangan tengah sepertinya sengaja dibiarkan lenggang. Tumpukan barang telah terbungkus rapi oleh kain hitam, berjajar mengisi lis empat garis petak ruangan itu. Ingin sekali Rio mengeluh, keberadaan pendingin ruangan yang tidak menyala menimbulkan gerah di sekujur badan. Kepalanya terputar ke atas pintu, desain logo dengan nama yang rasanya pernah Rio dengar tercetak di jam dinding yang berdentang membunuh denging.
Di mana aku mendengarnya?
Ditariknya sepenggal napas sebelum mengalihkan pandangannya. Benar saja, belum ia memikirkan asal muasal pertanyaan di otak, hentakan sepatu meraungkan gema. Presensi kuat menyeruak membelenggu kebebasan Rio untuk mengulik lebih jauh.
"Selamat datang di Studio Batara. Sudah puas mengagumi?"
Itu dia dan senyum iblis andalannya.
Kain bagian dalam saku celana Rio kecut. Diremas kuat-kuat oleh rasa muak. Ah, pantas saja kalau ia pernah mengetahui nama itu. Studio Batara.
"Lagi-lagi lo."
"Tentu. Masih ingat lo dengan gue? Bagaskara, orang yang lo penjarain belum lama ini. Hm?"
Tampang polos penuh kemenangan Bagaskara menggetarkan kerinduan Rio untuk 'menyapa' wajah Bagaskara. Mungkin dengan satu atau dua kepal yang dapat mematahkan batang hidung.
"Lo mestinya lebih betah di dalam tahanan sana. Seharusnya lo masih punya lima bulan lagi buat puasa menghirup udara segar."
Rio mengangkat kaki mundur ke tempat semula, memutar bola mata jengah. Ia hanya ingin melangkah mendekati laki-laki pemilik studio ini. Sambutan meriah yang tidak sopan menghalangi. Seenaknya komplotan berpakaian gelap kembali mengacungkan senjata mereka lurus-lurus menujunya.
Tawa mencemooh pecah ruah. Bagaskara mengusap kantung bawahan panjangnya. "Lo pikir di dunia yang sudah korup ini ada yang gak bisa dibeli? Jangan munafik, Keparat Bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...