Sinar lembut mentari menyisiri helaian rambut. Diiringi gemerisik dedaunan yang melambai seirama di balik tembok ruangan, keduanya tampak seiras. Lengkap dengan kain-kain pakaian yang kecut dan berlipat-lipat.
Kumpulan awan di mata Ify berbentuk lingkaran-lingkaran tebal. Cakrawala sedang biru cemerlang. Betah terbentang di ketinggian, mengetahui tiap kejadian dari setiap sudut kota.
Langit itu, aku tidak akan melupakannya.
🎭🎭🎭
Derap langkah kaki pasang-pasang sepatu memijaki lapangan rumah yang sunyi. Rumah berpelitur terawat itu selalu sama, dan kabar baiknya jadi selalu dapat menerima Rio kapan pun ia perlu tempat untuk singgah. Berancang untuk menenangkan sebagian besar diri dari keterkejutan sebelumnya, deru mesin kendaraan roda empat yang dimatikan mengusik keduanya.
"Kamu sudah menunggu dari tadi?"
Menyatukan rambut terurai di tempurung belakang, siluet seorang gadis yang sempat berbicara dengan rekan yang menyopirinya menghampiri sang pemilik rumah. Ia tidak menjawab, hanya membaca keadaan yang‒sepengamatannya‒tidak terlalu bersahabat.
Ivanka, perempuan yang berkunjung ke rumah Ify hari itu, mengurungkan niat untuk segera menanyakan tentang petunjuk apa pun yang Rio-Ify bawa pulang. Tidak, setidaknya tunda saja dulu. Sesuatu mungkin telah terjadi hingga senyum tegang keduanya kentara menyapa dirinya. Tidak, Ivanka pun tak ingin mengetahui terlalu banyak. Ada batas privasi yang berada di luar lingkar kapasitasnya.
"Mari beristirahat dulu. Ceritakanlah yang terjadi jika kalian merasa ingin menceritakannya." Cukup dengan itu. Natasya Ivanka memancarkan kepeduliannya tanpa basa-basi yang tidak perlu.
Satu tarikan napas masuk, dikeluarkan perlahan-lahan dari mulut. Setelah jiwa keduanya telah kembali bak sedia kala, mereka menoleh satu sama lain. Ify menutup pintu ruang tamu kediamannya. Kemudian menuangkan air dingin dari teko kaca ke tiga gelas bening di hadapan mereka.
"Terima kasih." Ify mengawali. "Soal bukti terkait kasus Rio, kami juga belum sempat membahas apa-apa."
Tirta dingin menyejukkan kerongkongan yang sempat mengering. Diposisikannya diri duduk di sofa yang sama dengan Ivanka. Ia meneguk ludah dalam.
"Sepulang dari tempat masing-masing, tepat di tengah hari, tiba-tiba ada yang 'menyerang' kami. Kami tidak tahu siapa dia, namun pada akhirnya syukurlah Rio mengatasinya." Dia sungguhan mengutip kata tersebut dengan dua telunjuk.
Menghilangkan kesan intimidasi dari setiap pertanyaannya, gadis itu terangguk. "Kalian tidak apa?"
"Ehm, pertanyaan yang sedikit aneh bila dilempar dari orang yang tahu segalanya ke orang berlatar belakang sepertiku. Setidaknya, 'ilmu-ilmu gelap' itu diterapkan pada tempatnya kali ini." Rambut panjang Rio di tengkuk Rio sedikit kusut karena usapan kasar Rio sendiri.
"Benar-benar bisa diandalkan."
Sekilas ibu jari Ivanka bertemu dengan ujung telunjuk. Memberi hadiah berupa tanda 'OK' bagi laki-laki itu. Telapaknya kembali diletakkan di atas lutut.
"Bagaimana menurut kalian bila aku bilang itu ada kaitannya dengan si pelaku? Kita tidak pernah tahu pasti seberapa besar presentase kemungkinan itu. Namun, menyempitkan kemungkinan siapa yang akan menyerang kalian sekarang, mungkin saja tanpa kita sadari rupanya si X ini sudah membaca kita dari jauh."
"Bisa jadi, sih." Kelopak atas dan bawah bibir Ify melipat ke dalam.
Kelak Ivanka mencoba mengatur susunan katanya. "Jika memang demikian, bisa berarti si pelaku ini punya banyak kaki tangan, melibatkan orang lain dalam hal-hal yang dilakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Azione"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...