Erat-erat, telapak tangan Riel menyelaputi pembatas sederhana tangga yang melingkar. Tangannya yang lain meraba leher belakang. Kerut sirna dari wajah Riel yang turut menghapus segala kontur ekspresi di penampilannya.
"Ingatlah. Pada dasarnya, manusia itu egois. Manusia akan selalu menginginkan semuanya untuk diri sendiri."
Terulang lagi hari ini, segala perihal menghunjam jantung. Dua laki-laki yang seharusnya terhubung itu tidak melunturkan egoisme, malah membuka tameng untuk dunia baru dengan persona yang belum sepenuhnya siap tempur.
Riel menutup pembicaraan. Rio meremas jari-jari.
"Kita akan bertemu lagi, segera. Di saat itu, mari kita lihat permainan siapa yang akan lebih unggul di mata sang penentu."
🎭🎭🎭
Sepasang siluet yang hampir sempurna tercetak di ubin cerah mendadak memburam dalam hitungan detik. Ketika kepala itu menengadah mencaritahu, sang mega telah berhegemoni, menjadi lebih besar, lalu menutupi seluruh sisi cahaya matahari yang seharusnya menjangkau titik mereka berdiri.
Langit berawan dengan sepoi-sepoi lembut yang membawa hawa dingin, sebuah awal yang tidak terlalu baik untuk mengawali hari.
Lorong panjang bergeming. Beberapa langkah lagi, pintu yang hingga kini masih tertutup siap menenggelamkan keduanya ke perjalanan yang sebenarnya. Namun, belum ada satu pun dari mereka yang beranjak maju.
Amplop manila yang ia jinjing sedikit bergemerisik kala ia menyilap lengan di depan diafragmanya. "Di saat seperti ini, apa yang sedang kamu pikirkan?"
Tarikan lengan agar mendekati sumbu tubuh mengerat. Suara Ivanka yang begitu tenang menohok kesadaran.
"Setelah selama ini sempat terlalu lama menahan napas di balik duniaku sendiri, aku membayangkan hal-hal mengerikan." Cepat-cepat Ifiana menjilat bibir yang sulit terbuka. "Rasanya kebebasan dan kekangan hanya sebatas garis tipis, Rio yang berada di dalam sana pasti juga merasa begitu."
"Jangan. Kamu harus tetap kuat sampai tiba."
Mata yang tertuju padanya membuat Ify mengertakkan geraham. Tidak dapat menyalahkan gadis itu, tentu saja. Hanya saja, gejolak dalam tubuhnya semakin mahir mengambil andil. Dipandanginya Ivanka dengan sendu.
"Semudah itu?" Benarkah semudah Ivanka mengatakannya?
Lugas, kuncir ekor kuda Ivanka melambai ke samping tanpa ragu barang setitik pun. "Aku tidak pernah bilang ini akan mudah, bukan?"
"Kamu dan Rio menyembunyikan banyak hal, maka kalian merasa begitu khawatir. Bukan begitu?" sambungnya.
Ujung sepatu Ify merapat satu sama lain. Mungkin karena itu. Kami terlalu nyaman berada dalam kekhawatiran sampai-sampai tidak lagi membedakan resah dan tenang itu sendiri.
"Fy," panggil Ivanka pelan. "Kamu tahu, kita tidak berada di sini untuk mundur."
Sekujur daksa menghangat dalam kaku. Leher Ify melurus, tidak lagi menghindari tatapan lawan bicaranya. Tidak ada balasan mengenai apa pun yang sebelumnya Ivanka ucapkan, tapi hela napas panjang dan anggukan cukup terampil untuk menggantikan sebuah jawaban.
Merapikan pakaian, langkah pertama telah diambil oleh Ify. Rambut hitam dikepang kencang satu ke belakang melewati leher. Penampilan yang berbeda, sudah lama tidak ditata sedemikian rupa. Tapi bukan soal penampilan yang ditata hingga mengalihkan pasang-pasang mata, Ify ingin tampil kemas, ingin apa pun yang terjadi segera menghilangkan rasa awas dan cemas.
Daun pintu berat menganga, menampilkan segala isinya dalam sekali bentang. Tanpa menggerakkan kepala, mata Ify berkeliling ke seluruh area ruangan. Entah bagaimana, susunan yang berada di dalam sana sedikit berbeda dari sepengetahuan Ify.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Action"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...