Dua Puluh Sembilan

493 79 67
                                    

Sagara
Udah pulang?

Arina
Belom, kenapa?

Sagara
Gue udah mau pulang
Lo nanti pulang sama siapa?

Arina
Gatau

Sagara
Butuh gue jemput nggak?

Arina
Lo mau?

Sagara
Shareloc buruan

Arina
Gue yang nggak mau lo jemput

Sagara
Nope
Gue tetep jemput

Arina
Gausah

Sagara
Tinggal shareloc apa susahnya sih?

Arina
📍 location

Sagara
Oke

"Kak Dante nggak usah anter nanti Sagara mau kesini." Arina berujar pada sosok laki-laki berbadan jangkung yang kini berdiri menghadap toaster.

"Bagus! Biar dia ketemu langsung sama gue, bisa-bisanya baru nikah sehari udah bikin masalah! Mau gue tonjok tu orang kalo kesini." Ujar lelaki bernama Dante itu.

Arina tersenyum kecil lalu mengambil sepotong roti dari toaster dan menggigit pinggirannya kecil.

"Kak Dante, jangan gitu deh, Sagara nggak salah kita cuma tengkar kecil aja."

"Tengkar kecil apa yang sampe bikin lo lari malem-malem ke apart gue terus nangis di kamar mandi dua jam dan bahkan dia nggak ada effort buat nyariin lo? Arina tu cowok literally brengsek!" Dante nampak berapi-api, gimana enggak, Arina datang ke unit apartemennya selarut itu, dengan baju dan rambut yang kacau ditambah dirinya yang bahkan menghabiskan waktu hampir dua jam untuk menangis di kamar mandi.

"Kak, udah kok, Arina nggak papa, nanti juga Sagara kesini kan jemput. Kakak tenang aja." Arina berujar lembut.

Sagara
Gue di depan

"Sagara udah sampe."

______

Perjalanan yang kurang dari dua puluh menit itu lima menit pertamanya diawali dengan hening. Arina buru-buru masuk ke dalam mobil, begitu Sagara datang, meminimalisir dirinya terlihat oleh orang-orang.

Sagara juga tidak berbicara apa-apa, setelah tancap gas ia hanya diam. Baru, ketika mobilnya sampai pada belokan kedua setelah lampu merah, ia memulai konversasi.

"Lo kok bisa sama Mark?" Tanya Sagara memulai pembicaraan.

"Panjang ceritanya." Jawab Arina.

"Dipersingkat apa ga bisa?"

Arina menatap Sagara yang tengah fokus menatap jalan raya di depan. Cowok itu, mengatakannya dengan mudah seolah nggak terjadi apapun sebelumnya. Ia bahkan nggak meminta maaf atas apa yang terjadi semalam dan berlagak seolah nggak terjadi apa-apa.

Brengsek!

"Semalem Om Jean gimana?" Tanya Sagara lagi, masih tak mengalihkan pandangannya dari jalan raya.

"Gimana? Lo masih nanya gimana?" Ujar Arina, kali ini dengan nada bicara yang tak selembut sebelumnya.

"Iya gimana? Gue nanya baik-baik loh Arina." Sagara berujar, ia menyadari ada yang berbeda dari nada bicara Arina barusan.

"Sagara, ayah gue itu sakit. Sakit Gar, beliau bukan orang sehat. Dari pagi acara pernikahan kita ayah selau ada. Nggak istirahat sampe malem, sampe malem gar. Dan ayah masih nungguin lo buat pulang karena ayah mau ngomong banyak hal sama lo, sama menantunya. Ayah nungguin lo Gar, sampe malem. Ayah mau ngobrol sama lo, mau cerita panjang lebar dalam hubungan ayah mertua dan menantunya, tapi lo malah pergi dari sore dan nggak pulang! Terus lo masih nanya gimana?? Menurut lo jawaban apa yang pantes gue kasih buat lo? Hah?"

Tepat setelah Arina menyelesaikan kalimatnya, Sagara menepikan mobilnya, lalu berhenti di salah satu tanda parkir yang tak jauh dari lampu merah. Ia berhenti mengemudikan mobilnya, menatap Arina yang kini menatapnya dengan rahang mengeras.

"Kok lo marah sih? Dari awal gue udah bilang Arina, gue ini punya pacar. Gue punya Shenina. Dari awal bukannya lo udah bilang kalo gue setuju sama perjodohan ini lo bakal ngebebasin gue buat ngapain aja sama Shenina? Buat berhubungan sama Shenina? Dan pernikahan kita ini juga cuma.."

"Pura-pura! Iya gue tau ini semua cuma pura-pura Sagara. Tapi apa lo nggak bisa? Sebentar aja pulang, sebentar aja ketemu Ayah yang pengen banget ngomong sama lo. Nggak bisa? Lo pergi dari sore Gar, dari sore, apa nggak bisa Shenina lo tinggal sebentar, gue nggak minta lo buat stay di rumah, enggak, cuma sebentar. Ayah juga nggak mungkin nahan lo lama-lama di rumah, enggak." Air mata Arina mulai jatuh, tangis yang ditahannya sejak tadi, atau tidak, sejak awal dirinya hendak menikah dengan Sagara. Tangis yang selama ini ingin ia sembunyikan dari laki-laki di hadapannya itu. Air mata itu jatuh juga.

"Arina, Shenina sakit Arina. Shenina sakit. Lo pikir gue bisa ninggalin Shenina dalam keadaan kayak gitu?"

"Iya gue tau Shenina sakit gue tau!" Nada suara Arina meninggi.

"Iya terus kalo lo tau kenapa lo masih kayak gini?!"

Arina tercekat, ia tak bisa lagi berkata-kata, nada tinggi Sagara barusan terasa seperti menusuk jantungnya dan membuatnya hanya bisa menangis. Rasanya sesak di dadanya, saat ia ingin berbicara, yang keluar hanya sakit.

"Gue kasian ayah Gar, ayah nungguin lo semaleman." Ujar Arina sambil menangis. "Lo boleh seenaknya ke gue tapi tolong tetep hormatin orangtua gue." Sambungnya.

Kini gantian Sagara yang terdiam.

"Ini yang gue nggak mau. Dari awal gue udah bilang ke lo kalo gue punya pacar,gue punya Shenina, dan gue mau kita batalin perjodohan ini. Ini yang gue nggak mau Rin, lo tau kan kejadian kayak gini pasti bakal terjadi, gue nggak bisa ninggalin Shenina. Dan sekarang apa? Gue keliatan kayak antagonis disini dengan lo nangis di depan gue. Gue jadi brengsek Rin. Gue jadi nyakitin lo. Padahal kita berdua sama aja!"

Arina hanya bisa menangis, rasanya lidahnya sudah tak mampu lagi untuk berkata-kata.

"Gue nggak mau minta maaf karena gue nggak merasa salah. Lo minta gue buat nerima perjodohan ini dan lo juga harus tau konsekuensinya." Ujar Sagara dingin.

Arina yang tidak tahan buru-buru membuka pintu mobil Sagara, lantas keluar dari sana.

"Lo mau kemana?" Tanya Sagara saat Arina keluar dari mobilnya.

Gadis itu tak mengindahkan panggilannya, pun pertanyaan kemana ia hendak pergi. Sagara sendiri menyadari bahwa ia tak mungkin keluar dari mobilnya, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihatnya. Lagipula kalau ia mengejar Arina, belum tentu ia mau kembali ke mobil lagi  percuma, gadis itu tengah emosi saat ini.

"ANJING!!!!"

______


Unwanted, WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang