Tiga Puluh - Menangis di Jalan Pulang

534 88 34
                                    

______

"Dan Senayan menjadi saksi
Bodoh dan sayang, hancur lebur kita terjadi
Kita menangis di perjalanan pulang
Mencari jalan tak pernah sampai tujuan
Terlanjur hangus, terburai, dan berantakan."
- Menangis di Jalan Pulang, Nadin Amizah.

_______

Air mata itu lupa caranya untuk mengering, kakinya pun telah abai pada kata lelah, pun dengan hatinya yang telah lupa akan kata sakit.

Arina bergegas, berjalan menyusuri pinggiran trotoar yang dipenuhi lalu lalang pedestrian yang lain, menghambur. Bedanya, hanya Arina yang jalannya diiringi air di matanya. Gadis itu, menangis.

Ponsel di genggaman Arina berdering ketika dirinya hanya fokus kepada kemana ia harus pulang setelah ini.

Saat nama Mama tertera sebagai pemanggil di ujung telepon yang lain, Arina tak bisa apa-apa selain memangis.

Ia berhenti melangkah, duduk di salah satu halte di depan sebuah gedung ramai. Disitu ia mati-matian menyeka air matanya, menetralkan suaranya hingga benar-benar tak ada lagi isakan yang tersisa. Baru setelahnya, panggilan itu diangkatnya.

"Hallo ma..."

"Arina, mama dari tadi mau telepon kamu takut ganggu nak."

"Oh enggak kok ma. Kenapa ma?"

"Suami kamu gimana? Udah gapapa? Kamu masih di rumah sakit? Ini ayah kamu mau jengukin katanya, ngajak mama ke rumah sakit, tapi kan mama mggak tau rumah sakitnya yang mana, jadi ya mama telepon kamu."

"Ah...itu...Arina...Arina udah pulang kok ma, Sagara juga udah, gapapa dia kata dokter cuma capek aja." Ujar Arina berbohong.

"Oh..yaudah kalo gitu mama sama ayah ikut seneng ya, oh iya maaf semalem mama sama ayah pulang duluan sebelum kamu pulang, ayah ada janji check up sama dokter soalnya. Oh iya buat sarapan kamu, mama udah siapin banyak makanan di kulkas, nanti tinggak di microwave aja ya."

"Ma...Arina..." Suara Arina tercekat di tenggorokannya, saat ia hendak mengatakan ke sang mama perihal bagaimana Sagara memperlakukannya semalam. Namun ia tidak tega, saat tahu bahkan Ayah dan mamanya menghawatirkan Sagara mati-matian sementara cowok itu bahkan lebih mementingkan pacarnya ketimbang menemui mereka, Arina tidak tega membayangkan bagaimana perasaan ayah dan mamanya kalau sampai mereka tahu yang sebenarnya.

"Ma...makasih ya ma, nanti Arina makan kok, pasti."

"Kok kamu doang, Suami kamu juga dong."

"Iya..nanti kita makan berdua udah dulu ya ma, Arina di jalan mau pulang dada mama."

Arina tak sanggup, dadanya semakin sesak. Air matanya tak kuasa lagi ia tahan. Di perjalanan pulang ini, Arina menghabiskan langkahnya dalam tangisan.

______

Sagara menatap jalanan di hadapannya segera setelah Arina memutuskan untuk turun dari mobilnya. Dadanya terasa sesak dan kepalanya penuh. Rasanya ia benar-benar ingin memukuli apa saja yang ada di hadapannya.

Perkataannya tadi terulang-ulang di kepalanya bagaikan di stel otomatis di otaknya. Rasanya, ia sudah keterlaluan.

Arina dan ia sangat berbeda, saat ia dan kedua orang tuanya bahkan tak memiliki kadar intimasi yang sempurna, Arina dan kedua orangtuanya pasti lebih dekat dari yang ia duga. Ia tak pernah dekat dengan sang papa, pun dengan mamanya, maka ia tak tahu apakah sepenting itu untuk saling berbicara dengan orangtua Arina?

Unwanted, WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang