#2 - Jalan Panjang Menantang itu, Kita.

307 42 9
                                    


"Jalan panjang menantang kalau dilalui berdua pasti akan terasa pendek."

Arina membaca kalimat itu dalam sekali hembusan napas saat ia melewati restoran Indonesia di jajaran toko pizza yang letaknya sangat jauh dari asrama tinggalnya.

Arina menghembuskan napasnya. Ini kali pertama ia ke restoran Indonesia setelah satu tahun disini.

"Hallo." Seorang wanita lugu cantik dengan dress floral selutut menghampiri Arina, begitu ia sudah di dalam. Gadis itu tersenyum, cantik.

"Thanks."

"Lemme check the seat, then."

"Reservasi atas nama Mark Mahendra." Ujar Arina lembut, mengisyaratkan kalau ia sudah melakukan reservasi sebelumnya. Bukan ia sih, lebih tepatnya Mark yang melakukan reservasi.

Bermula dari Mark yang mengajaknya makan siang, namun ia ingin makan siang yang berbeda. Dan disinilah dia sekarang, duduk sendiri, di meja yang sudah direservasi, tanpa kehadiran orang yang sudah repot repot mereservasi meja ini.

Mark bilang akan menyusul nanti setelah acaranya selesai. Cih sok sibuk.

Ngomong-ngomong saat ini dia magang di salah satu institut kesehatan mental di sini.

Arina meletakkan tasnya di atas meja.

Memandang.

Restoran ini antik, ornamen khas Indonesia terasa kental kerasa. Foto-foto orang Indonesia yang berkunjung kemari dipajang di dindingnya, beserta pesan-pesan mereka untuk Indonesia tentunya.

"Saat pulang ke Indonesia nanti, aku mau buat band terhebat yang pernah ada."

"Hai Indonesia, apa kabar? Kalau pulang nanti aku mau jadi engineer terhebat di Indonesia."

Tulisan itu Arina temukan di salah dua foto yang ditempel disana.

Arina menghela napasnya.

Rasanya sudah lama sekali.

Acara televisi yang diputar disini juga acara televisi Indonesia, sinetron Indonesia, acara musik Indonesia, podcast orang Indonesia dan berita-berita Indonesia.

Di samping kanan ada gerobak kecil yang bertuliskan es teler, ada es kelapa muda, ada juga kerak telor, nasi bebek bahkan ketoprak. Tanpa sadar Arina merasa pulang. Tanpa sadar ia merindukan rumah.

"Excuse me, do you want to order some food before your friend come?"

"Its oke i'll wait."

Arina masih menunggu.

Mark bukan orang yang mudah terlambat, setidaknya selama ini Arina merasa begitu. Kalaupun ia harus terlambat pasti akan ada notifikasi lain di ponselnya. Pasti ia akan mengabari alasan keterlambatannya.

Arina mengecek ponselnya lagi, Mark tak kunjung menghubunginya.

"Ih kok tumben sih Kak Mark!"

Disela ia yang bersingut kesal, dari arah belakang tubuhnya, Arina merasakan langkah kaki seseorang yang mendekat, tak lama kemudian langkah demi langkah itu berhenti.

Arina menolehkan kepalanya.

"Kak tumben banget sih lo biasanya nga b......"

"Sorry pesawat gue delay."

Pe...sa....wat?

Arina menahan napasnya lagi.

"L...lo?"

Cowok di hadapannya cuma bergeming, senyumnya melebar dari ujung kiri ke ujung kanan pipinya seolah tak bersalah.

"Nga??? Ngapain lo? Sagara fuckin Bentala?????" Ujar Arina masih tak percaya.

Unwanted, WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang