Dua Puluh Tujuh

369 79 41
                                    

Hiii aku update lagi semoga engga bosen xixixi

______

"Arina Jeanada. Saya memilih engkau menjadi istri saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untuk dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup."

Arina menangis, sementara Sagara terdiam, lesu sambil tangannya yang masih memegang cincin pernikahannnya, tidak percaya dengan apa yang ia lakukan barusan. Matanya tak berani menatap ke sekeliling ruangan. Pada ekspresi puas papa yang lagi-lagi berhasil mendiktenya, pada eksprei nanar di wajah Om Jeff yang tahu segalanya, atau pada tiap-tiap tetes air mata yang jatuh dari wajah Om Jean yang duduk di kursi roda. Terutama, pada wajah terkejut teman-temannya, pada ekspresi yang tak dapat diartikan milik Jehian, atau senyum lebar yang tambah tak dapat diartikan lagi dari Shenina. Shenina berdiri di sana, di sebelah Jehian persis yang membuat Sagara makin benci. Ia benci berada di atas altar ini, ia benci berada di sini.

Hari ini, dan untuk seterusnya lagi Arina tahu, kalau hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Sagara juga begitu.

______

"it must be hurt for you." Jehian menatap Shenina yang kini duduk di kursi penumpang mobilnya. Gadis itu hanya diam, lalu menyungging sedikit senyum yang entah apa artinya. Ia mengambil kopi yang diletakkan di sebelahnya, menyesapnya sedikit.

"Bitter, 8 shots lo nggak berubah ya?" Tanya Shenina sambil menatap ke arah Jehian.

"It must be hurt for you too, kan Yan?" Tanya Shenina kemudian.

"For me? enggak, kenapa gue?"

"For losing your bestfriend?"

"karena Sagara udah menikah?"

"Karena you both seems not that close anymore."

Jehian terdiam, entah harus menjawab bagaimana. Pernyataan ia dan Sagara yang sudah nggak sedekat dulu memang benar, tapi tidak, Shenina tidak perlu tahu alasannya.

"Udah ya Nin, gue nggak mau bahas itu." Jehian berusaha tidak melanjutkan konversasi ini, berdalih dengan focus menyetir karena takut tertabrak padahal jalanan di depan sedang lenggang-lenggangnya.

"kalo lo nanya gue is that hurt for me? jawabannya ya, iya. Siapa sih yang nggak sakit ditinggal cowok yang gue sayangin buat nikah. Mau itu boongan kek, beneran kek, ya ngeliat cowok gue berdiri di altar sama cewek yang bukan gue, gimana kalo lo yang jadi gue?" ujar Shenina.

Jehian terdiam, dalam diamnya ia mengiyakan. Bagaimana kalo posisinya terbalik, ia yang berada di posisi Shenina sekarang, pasti ia akan hancur setengah mati.

Tiba-tiba ponsel Shenina berbunyi, mengisyaratkan panggilan masuk dari sana. Shenina menatap siapa yang meneleponnya itu sejenak, lalu seperti menimbang sesuatu ia tidak bergegas mengangkat teleponnya hingga Jehian bertanya,

"Nggak diangkat Nin?"

"Ouch...aduh Yan, perut gue sakit." Shenina memegangi perutnya, membuat Jehian yang disebelahnya menatapnya bingung dan khawatir.

"Lo gapapa Nin?" Tanya Ian.

"Sakit, kayaknya kumat asam lambung gue."

"Lo mau ke rumah sakit?"

"Nggak usah nggak perlu, anter gue ke apart gue aja ya, sama tolong teleponin Sagara."

"Telepon Sagara?"

"Iya, please."

"Buat apa Nin? Kan ada gue, lagian Sagara juga pasti masih repot sekarang, masih banyak keluarganya."

Unwanted, WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang