Ketika perjalanan menuju rumahku yang ditempuh jalan kaki dari halte tempat turun bus, Vinny bercerita sedikit tentang permasalahannya dengan Bryan. Kami berjalan beriringan dengan Vinny yang berada di posisi tengah. Sesekali, Vinny tersenyum dalam tangisannya. Tidak beda jauh denganku saat sedang menangis miris, pasti tetap berusaha menampakkan senyum.
"Jadi gitu... keluarga gue tuh kayak nggak suka sama Bryan. Padahal apa salah Bryan coba? Apa karena menurut mereka Bryan itu nggak ganteng?"
"Paham banget kok, Vin, orangtua emang suka gitu. Selalu menentang pilihan anak kalau nggak sesuai dengan hati mereka. Udah ya Vin ya, lo jangan sedih terus. Gue dan Decha jadi ikutan sedih." Aku selalu berusaha memberi kekuatan.
Vinny mengusap sudut matanya. "Gue harap, kalian berdua nggak usah ceritain masalah ini sama Erin. Tapi kalau masalah gue sama Bryan putus nggak apa-apa kalau Erin tahu. Tapi penyebabnya kalian jangan ngasih tahu ya."
Bryan itu masih terhitung saudara dengan Erin. Papanya Bryan merupakan kakak ibunya Erin. Jadi mungkin saja Erin akan menceritakan perihal Bryan yang pernah ditemui oleh kedua orangtua Vinny supaya menjauhi anaknya. Tentu saja hal itu pasti akan menimbulkan konflik antar orangtua.
"Tapi kenapa?" tanya Decha.
"Nggak apa-apa sih, cuma nggak enak aja sama Erin," tukas Vinny kembali tersenyum simpul.
Decha dan aku mengangguk kompak. Apa pun alasan yang sebenarnya, aku juga setuju dengan keputusan Vinny untuk menyuruhku dan Decha tidak cerita ke Erin.
"Ngomongin soal Erin nih ya, gue rasa tuh anak emang lagi kasmaran deh. Dasar ya temen-temen gue. Yang satu lagi merana, eh yang satu lagi berbunga-bunga." Aku tertawa. Kami bertiga masih berjalan di trotoar dengan langkah ringan menuju gang komplek perumahanku.
"Kalau itu benar, menurut kalian cowoknya siapa? Apa kita kenal?" tanya Vinny yang akhirnya sudah menuntaskan produksi air matanya.
Aku mengedikkan bahu. "Nggak tahu sih... tapi... Triple O em ji... " Mendadak aku jadi teringat omongan Erin kemarin siang yang sempat memuji Radhif si anak baru.
"Argh... gayanya oke juga ya dia. Gurat wajahnya yang serius itu loh yang bikin gemes." Erin membekap mulut, senyum-senyum sendiri.
"Kenapa, Ay?" tanya Decha dan Vinny saat mendapati ekspresiku yang terkejut.
"Mungkin nggak sih kalau cowoknya itu anak baru di kelas kita? Kalian ingat kemarin Erin sempat muji-muji Radhif."
Vinny dan Decha tampak berpikir.
"Gue bukannya nggak ingat, gue malah nggak tahu kalau Erin sempat muji Radhif. Tapi kalau emang bener cowok yang dimaksud itu Radhif, ya nggak masalah kan?" papar Vinny yang sudah kembali ceria. "Berarti Radhif berhasil buat Erin move on dari mantan terindahnya."
"Gimana menurut lo, Cha?" Aku melemparkan pendapat kepada Decha.
Decha mengedik singkat. "Nggak tau ah. Udah ya, jangan bahas Erin, anaknya nggak ada di sini. Nggak baik. Nanti kita tanya aja langsung sama dia."
"Hmm ya udah deh, malaikat baik." Aku menowel-nowel rambut Decha yang halus dan lurus. Seolah-olah Decha malaikat baik sementara aku dan Vinny malaikat buruk. "Sekarang cap cus aja yuk jalannya biar cepet sampai di kamar gue."
"Yuhuu!" sambut Decha dan Vinny bersamaan. Lalu kami bertiga berjalan sambil merangkul satu sama lain bak teletubbies yang kekurangan personel.
***
Jam 7 malam Vinny dan Decha pamit pulang setelah kami bertiga berkutat dengan latihan soal-soal mapel matematika. Decha yang lebih banyak tahu dan paham dengan telaten mengajari aku dan Vinny cara memecahkan soal dengan runtut. Beruntung, kami punya teman seperti Decha yang selalu sabar mentransfer ilmu kepada kami yang otaknya pas-pasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Teen Fiction"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...