Bintang gemintang sudah terlihat mengintip dari angkasa menandakan waktu malam telah menyapa. Gemerlap lampu kota menemani perjalananku dan Kak Melky dari pantai yang tadi kami kunjungi.
Setelah menempuh waktu beberapa menit, akhirnya Kak Melky memberhentikan motor di depan gang masuk perumahan tempat tinggalku.
"Yakin nih cuma sampai di sini doang?" tanya Kak Melky setelah aku turun dari boncengan.
"Santai aja, Kak, nggak apa-apa kok. Di sini aman." Aku melepas helm lalu kuserahkan kepada Kak Melky.
"Baiklah kalau gitu." Kak Melky mengangguk, menerima helm dari tanganku.
Aku memegang lengan Kak Melky. "Kak, makasih banyak ya buat yang tadi. Ya... maksudnya makasih udah rela ngasih waktu buat nemenin gue di saat-saat lagi kayak gini."
Kak Melky melengkungkan senyum tipis. "Kalau lo butuh curhat lagi, gue bakal selalu berusaha buat dengerin."
"Okeey..." Aku tersenyum lebar. "Oh iya, Kak, nanti jangan lupa ya ngasih bukunya ke Arraja. Kalau bisa nggak usah bilang itu dari gue, bilang aja dari Kak Melky sendiri."
"Loh kenapa? Nggak bisa gitu dong, Ay."
"Gue cuma kepengen–"
"Udah... nggak perlu ada yang dikhawatirkan, gue bakal bilang apa adanya. Orang buku ini dari lo ya gue bilang dari lo." Kak Melky sudah kembali menyalakan mesin motor. "Sekarang udah malam, sebaiknya kita sama-sama balik yuk."
Aku tak menyahut lagi, hanya memerhatikan pergerakan Kak Melky yang sudah siap melajukan motornya. "Duluan, Ay, sampai jumpa lagi ya!"
Kak Melky melambaikan tangan, pergi memutar arah untuk pulang. Mengikuti jejaknya, aku lekas berbalik badan, melangkah pelan menyusuri jalanan. Dalam perjalanan mengayunkan langkah kaki, aku menghela napas, cukup lelah menghadapi semua ini. Namun di satu sisi, ada rasa lega manakala sebagian beban di lubuk hatiku sudah tersalurkan dengan cara berteriak-teriak di tepi pantai seperti tadi. Mengingat momen tersebut, aku jadi senyum-senyum sendiri. Akibatnya aku tidak sadar bahwa sedari tadi aku berjalan seorang diri di dalam gang gelap. Dan seketika itu juga terlihat tak jauh di hadapanku muncul seseorang berpakaian ninja hitam-hitam yang menghadang langkahku. Merasa kaget dan takut, aku refleks berbalik badan, tetapi rupanya di belakangku seseorang berpakaian serupa mencegatku seraya menodongkan sebuah pistol. Untuk kedua kalinya, aku terperanjat.
"Berhenti bergerak kalau lo nggak mau mati!"
"Eh ini apa-apaan?!" Aku mulai panik. Terlebih, dua orang ninja itu berjalan mendekat dan sigap mencekal tubuhku. Ya Tuhan, mereka siapa? Apa yang akan mereka lakukan terhadapku? Apakah aku akan kembali diculik sekawanan orang yang ternyata komplotan penjahat dari seseorang yang kukenal?
Ketika aku mencoba untuk berseru kencang meminta pertolongan, moncong pistol di tangan salah satu ninja itu diarahkan tepat di pelipisku."Jangan berani teriak kalau isi kepala lo nggak mau tercecer sekarang juga!"
Rasanya kepengin nangis menghadapi kenyataan seperti ini. Langkah kaki begitu berat untuk mengikuti instruksi orang asing tersebut.
"Kalian berdua siapa sih? Tolong jangan tambah-tambahin beban masalah gue dong. Hidup gue tuh udah penuh masalah, tau." Aku mulai menangis pelan, ingus menetes perlahan.
"Sama aja kok. Masalah gue juga banyak," tukas cowok ninja yang tidak memegang pistol.
"Terus lo milih jadi orang jahat gitu?"
"Ya nggak juga sih. Tapi, ini demi duit. Gue ini seorang Papa muda yang harus menghidupi anak dan istri gue." Mendadak dia curhat.
"Triple O em ji, demi duit? Jadi kalian menculik gue demi duit? Apa nanti organ dalam tubuh gue bakal dijual ke luar negeri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Couple [End] ✔
Fiksi Remaja"Tapi lo beneran nggak marah sama gue, kan?" "Nggak kok." "Serius?" "Susah juga buat marah sama lo," tukas Arraja cuek, tapi berhasil membuatku melengkungkan senyum tipis. "Habis, kalau gue marah beneran, gue takut..." Arraja menatapku dalam-dalam...